Menteri Pariwisata Arief Yahya dalam berbagai kesempatan mengatakan bahwa Indonesia akan terus menggenjot jumlah wisatawan China yang saat ini rata-rata per tahun masih di bawah satu juta orang.
"Jumlah turis China yang bepergian ke luar negeri rata-rata 100 juta orang per tahun, tapi yang ke Indonesia belum sampai satu juta orang," ungkap Arief Yahya.
Tahun 2014 lalu total jumlah wisatawan Tiongkok yang ke Indonesia sekitar 950.000 orang, atau urutan keempat di bawah wisatawan asal Singapura, Malaysia dan Australia. Jumlah tersebut masih jauh dibandingkan yang ke negara ASEAN lainnya, terutama Thailand dan Singapura yang mampu menggaet wisatawan Tiongkok hampir 10 juta orang per tahun.
Oleh sebab itulah, tahun ini Kementerian Pariwisata menargetkan kunjungan wisatawan Tiongkok hingga 2 juta orang.
Kebijakan bebas visa bagi turis asal negeri "Tirai Bambu" itu mulai diberlakukan sejak Agustus lalu untuk menggenjot tingkat kedatangan. Target tersebut tentunya harus didukung oleh berbagai pihak, termasuk oleh kalangan operator pariwisata.
"Kebijakan bebas visa bagi turis Tiongkok tidak cukup untuk mendukung peningkatkan jumlah turis yang datang ke Indonesia, jika tidak disertai layanan yang baik," ucap Nurdin yang juga anggota dewan kehormatan Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia itu.
"Yang lebih penting lagi adalah mutu layanan terhadap kedatangan turis asing, termasuk dari Tiongkok, khusunya saat mereka melewati imigrasi," ujarnya.
Nurdin mengungkapkan bahwa ia sering mendapat keluhan dari rekan-rekannya dari China yang mengalami pemerasan oleh oknum-oknum di imigrasi. "Pengalaman buruk mereka saat ke Indonesia tentu bisa berpengaruh negatif bagi citra bangsa kita. Sehingga mereka lebih memilih negara lain untuk destinasi wisatanya," katanya.
"Umumnya mereka senang ke daerah yang punya kedekatan dengan negara asalnya, misalnya, ada sisa-sisa budaya China di daerah tujuan. Selain itu, juga mereka mereka mengharapkan kemudahan dalam komunikasi dan kuliner, serta tentunya jaminan keamanan," tambah Nurdin.
Peluang untuk menarik wisatawan tersebut disambut oleh Pemerintah Kota Batam, yang pada pekan lalu menjadi salah satu tempat singgah bagi ratusan peserta reli mobil lintas China-ASEAN.
"Batam siap menjadi salah satu pintu masuk utama wisatawan China, selain Jakarta dan Bali," ujar Kepala Dinas Pariswisata dan Kebudayaan Kota Batam, Yusfa Hendri, ketika menerima rombongan peserta reli tersebut.
Selama ini, wisatawan China tersebut lebih banyak mengunjungi Bali, dan Jakarta, maupun Surabaya. Untuk Pulau Bali karena eksotisnya alam, dan budaya masyarakatnya yang membuat wisatawan Tiongkok terpikat. Sementara ke Jakarta dan Surabaya lebih banyak urusan bisnis, sehingga warga China kedua kota utama di Tanah Air itu adalah para pengusaha.
Menurut Yusfa Hendri, Pulau Batam dan pulau-pulau sekitarnya sejak dulu sudah disinggahi warga dari China, termasuk Laksamana Cheng Ho pelaut pada abad XV.
Oleh sebab itulah, Yusfa mendukung adanya pengusaha yang membuat tempat untuk mengenang jejak sejarah Cheng Ho tersebut di Batam, seperti pembuatan replika kapal Cheng Ho dan "display" keterangan mengenai jalur penjelajahan pelaut tersebut.
Dekatnya jarak Batam dengan Singapura, menurut Yusfa, bisa menjadi faktor pendukung untuk merarik wisatawan China tersebut. "Soal fasilitas untuk wisatawan, Batam memang kalah dari Singapura. Oleh sebab itu kita utamakan mutu pelayanan dan keramahtamahan agar mereka tertarik dan memiliki kesan yang baik terhadap Batam," katanya.
"Mungkin sebagian warga China menganggap Indonesia itu jauh, tapi sebenarnya sangat dekat. Apalagi kami ternyata bisa ke Indonesia melalui jalan darat dengan melewati negara-negara ASEAN ini," ujar Che Li Chi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.