Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Babarit", Mensyukuri Hasil Bumi

Kompas.com - 27/09/2015, 17:49 WIB
”Apakah uang adalah segala-galanya? Ya, saat ini, kami memang belum memperoleh pendapatan besar dari pertanian dan pariwisata, tetapi kami bisa mengambil sayur gratis di kebun kami, air tidak beli, ubi tinggal ambil di ladang, sayur bisa memetik di pematang. Apakah hal-hal itu tidak dihitung?” ujar Bunbun.

Mengikuti logika Bunbun, hidup di kampung yang asri betapa enaknya. Sebab, untuk air saja, Kuningan menyuplai sumber air minum bagi Cirebon dan sebagian Brebes (Jawa Tengah). Ciremai memberikan mata air yang melimpah bagi warganya, berikut potensi panas bumi yang besar.

Di Kuningan, terdapat pemandian air panas Sangkanhurip yang menjadi pemicu pertumbuhan sektor pariwisata di daerah itu. Adanya pemandian air panas alami menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan berkunjung ke Kuningan. Hotel-hotel berderet di wilayah Sangkanhurip, antara lain Horison, Grage Sangkan Hotel&Spa, dan Prima Hotel, semuanya bintang tiga. Belum lagi hotel-hotel kelas melati yang tumbuh di kawasan sekitar. Semua muncul karena daya tarik wisata ”lahan hijau” itu tadi.

Maka, bisa dipahami jika sampai pada tarian kedua prosesi babarit yang berjudul Boled Bopeng, para seniman Kuningan sekali lagi menggambarkan setiap upaya merawat tanaman dilakukan dengan memperhatikan bibit yang baik supaya hasilnya juga baik. Dengan luwesnya, penari mengangkat tangan kiri sejajar mata seolah ingin melihat dan menyanjung tanaman yang mereka pilih-pilih, sedangkan tangan kanan berkacak di pinggang dengan telapak tangan menghadap ke luar. Mata penari mengimbangi kepala yang melenggok seperti boneka, berikut lemparan selendang mereka yang kadang tegas, tetapi juga kenes.

Tema tarian ketiga ”Tunggul Kawung” bergeser pada prinsip hidup. ”Tari ’Tunggul Kawung’ ngagambarkeun yen masyarakat kedah ngagaduhan pamadegan sareng istiqomah. Ulah unggut kalinduan, ulah gedag kaanginan lir ibarat tunggul kawung,” ujar Slamet Riyadi, Kepala Seksi Sejarah dan Kepurbakalaan Disparbud Kuningan, yang menjelaskan bahwa makna tarian itu mengajak rakyat tidak goyah dan memiliki prinsip ketika melakukan sesuatu yang baik (istiqomah), atau tidak mudah goyah karena guncangan dan angin ribut dari luar. Sikap yang demikian itu kokoh bagaikan akar pohon kawung.

Tarian penutup Goyong-goyong menyimbolkan gerak selaras antara rakyat dan pimpinannya. Pada akhir tarian ini, Bupati beserta warga yang menyaksikan atraksi kesenian dalam babarit itu sama-sama ngibing (menari). Pejabat yang semula duduk beralaskan karpet di panggung pun turun menari.

Seusai ngibing bersama, prosesi babarit yang awalnya tenang dan penuh keindahan, di akhir-akhirnya menjadi ramai karena ketika pintu gerbang dibuka, ratusan warga yang memadati halaman pendopo hingga meluber ke jalan raya itu masuk berebut mendapatkan tumpeng untuk dimakan bersama-sama. (Rini Kustiasih)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com