Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Babarit", Mensyukuri Hasil Bumi

Kompas.com - 27/09/2015, 17:49 WIB
JARI-jari lentik para penari yang menjepit selendang dengan gerak pinggang lincah ke kiri-kanan memikat mata ratusan warga Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, yang mengikuti prosesi babarit di halaman pendopo bupati, Minggu (30/8/2015) pagi. Prosesi babarit tersebut digelar untuk memperingati Hari Jadi Ke-517 Kuningan.

Penampilan 10 penari tersebut tidak hanya memenuhi kerinduan warga akan tari-tarian tradisional Sunda, tetapi juga mengisi lagi relung jiwa mereka akan nilai-nilai kesundaan yang kian terkikis. Prosesi babarit itu sendiri adalah upacara adat yang biasa dilakukan warga kampung di bumi Sunda untuk memperingati hari jadi tanah kelahirannya. Melalui prosesi itu, warga bersyukur dengan mempersembahkan hasil bumi, serta mengaraknya sebelum memakannya bersama-sama dalam suasana kegembiraan.

Warga di setiap kampung pun memiliki cara berbeda-beda untuk merayakan babarit. Ada yang meramaikan acara itu dengan atraksi kesenian atau perlombaan olahraga. ”Namun, intinya, mereka mendoakan kampung agar dihindarkan dari bencana sekaligus mensyukuri hasil panen,” ujar Asep Budi Setiawan, Kepala Bagian Humas Sekretariat Daerah Kabupaten Kuningan.

Seperti para pejabat kabupaten lainnya, Asep pada hari itu mengenakan iket Sunda, dengan paduan celana dan baju kampret warna hitam yang menjadi baju keseharian kaum lelaki Sunda.

Adapun busana perempuan, mulai dari panitia hingga ibu-ibu Dharma Wanita, adalah kebaya yang dipadu dengan kain (jarit). Sebagian besar perempuan mengenakan kerudung yang menutupi rambutnya. Bupati Kuningan Utje Choeriah H Suganda tampil berbeda dengan kerudung yang melingkar di sanggulnya, lalu sisa kain kerudung itu berjuntai dari kepala menuju sisi bahunya sehingga masih tampaklah sebagian rambutnya. Penampilan itu mengingatkan pada keanggunan perempuan Sunda yang bangga pada pakaian adatnya.

”Seluruh Indonesia kaya akan adat, seni-budaya. Masyarakat Kuningan, khususnya, bangga sebagai orang Sunda. Seni-budaya, dan adat-istiadat serta tata-nilai yang diwariskan karuhun (leluhur) berupaya terus dijaga supaya generasi muda bisa menerapkannya. Tata-nilai itu banyak yang bisa kita pakai, misalnya untuk aturan bercocok tanam dan menjalin hubungan antarmanusia,” kata Utje yang juga istri mantan Bupati Aang Hamid Suganda.

Empat tarian yang disuguhkan dalam prosesi babarit di halaman pendopo bupati itu melambangkan sebagian nilai dan kearifan lokal orang Sunda yang gemar bersyukur, bijak memperlakukan alam, dan bergotong royong.

Tarian pertama berjudul Siang Kembang, menampilkan penari yang bergerak rancak dalam kegembiraan karena hasil panen pertanian mereka baik. Penari mengelilingi tiga tumpeng nasi kuning berbentuk gunungan. Nasi tumpeng berikut lauk-pauk, sayuran, dan buah itu juga mewakili rasa syukur mereka atas hasil panen. Dua tumpeng setinggi sekitar satu meter, sedangkan satu tumpeng yang diletakkan di tengah setinggi hampir dua meter.

Andalkan lahan hijau

Berada di kaki Gunung Ciremai, Kuningan mengandalkan pada hasil pertanian, selain padi, juga palawija, seperti ubi jalar. Data dari dinas pertanian di Kuningan menunjukkan, produktivitas ubi jalar di kabupaten itu mencapai 19,5 ton per hektar (ha). Luas lahan yang ditanami ubi jalar 5.679 ha. Rata-rata, dalam setahun, dihasilkan 100.000 ton ubi jalar dari Kuningan, dengan Jakarta dan Bandung sebagai pasar terbesarnya.

Sejak masa Bupati Aang Hamid Suganda, Kuningan sudah menahbiskan diri sebagai daerah konservasi. Dampak dari hal ini ialah dominannya kawasan hijau daerah, dengan sekitar 20 taman atau hutan tengah kota yang total luasannya lebih dari 80 ha. Keberadaan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) yang sebagian masuk wilayah Kuningan seluas 8.931 ha juga memberikan dampak signifikan pada luasan lahan hijau di daerah tersebut.

”Luas kawasan itu belum ditambah 156 hektar lahan terbuka hijau baru dengan akan diresmikannya Kebun Raya Kuningan pada akhir tahun ini,” kata Bunbun Budhiyasa, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kuningan.

Bunbun mengatakan, setiap konsekuensi dari keputusan menjadi daerah konservasi itu telah dipikirkan masak-masak. ”Kami tidak bisa mengembangkan banyak kawasan sebagai sentra industri karena kami justru mengandalkan pertanian dan pariwisata. Dua sektor itu bergerak dari keberadaan lahan hijau, termasuk perikanan dan perkebunan,” katanya.

KOMPAS/RINI KUSTIASIH Para penari dari Paguyuban Seni Tradisi Kuningan menarikan tari-tarian tradisional Sunda di pelataran Pendopo Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Minggu (30/8/2015), dalam rangka perayaan Hari Jadi Ke-517 Kabupaten Kuningan. Tari-tarian tersebut merupakan bagian dari prosesi babarit.
Bersikap arif kepada alam, juga adalah salah satu titik penting dari sikap hidup urang Sunda. Upaya memelihara alam serta mengambil manfaat darinya adalah hubungan timbal balik harmonis kendati keuntungan finansial tidak serta-merta langsung dinikmati.

”Apakah uang adalah segala-galanya? Ya, saat ini, kami memang belum memperoleh pendapatan besar dari pertanian dan pariwisata, tetapi kami bisa mengambil sayur gratis di kebun kami, air tidak beli, ubi tinggal ambil di ladang, sayur bisa memetik di pematang. Apakah hal-hal itu tidak dihitung?” ujar Bunbun.

Mengikuti logika Bunbun, hidup di kampung yang asri betapa enaknya. Sebab, untuk air saja, Kuningan menyuplai sumber air minum bagi Cirebon dan sebagian Brebes (Jawa Tengah). Ciremai memberikan mata air yang melimpah bagi warganya, berikut potensi panas bumi yang besar.

Di Kuningan, terdapat pemandian air panas Sangkanhurip yang menjadi pemicu pertumbuhan sektor pariwisata di daerah itu. Adanya pemandian air panas alami menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan berkunjung ke Kuningan. Hotel-hotel berderet di wilayah Sangkanhurip, antara lain Horison, Grage Sangkan Hotel&Spa, dan Prima Hotel, semuanya bintang tiga. Belum lagi hotel-hotel kelas melati yang tumbuh di kawasan sekitar. Semua muncul karena daya tarik wisata ”lahan hijau” itu tadi.

Maka, bisa dipahami jika sampai pada tarian kedua prosesi babarit yang berjudul Boled Bopeng, para seniman Kuningan sekali lagi menggambarkan setiap upaya merawat tanaman dilakukan dengan memperhatikan bibit yang baik supaya hasilnya juga baik. Dengan luwesnya, penari mengangkat tangan kiri sejajar mata seolah ingin melihat dan menyanjung tanaman yang mereka pilih-pilih, sedangkan tangan kanan berkacak di pinggang dengan telapak tangan menghadap ke luar. Mata penari mengimbangi kepala yang melenggok seperti boneka, berikut lemparan selendang mereka yang kadang tegas, tetapi juga kenes.

Tema tarian ketiga ”Tunggul Kawung” bergeser pada prinsip hidup. ”Tari ’Tunggul Kawung’ ngagambarkeun yen masyarakat kedah ngagaduhan pamadegan sareng istiqomah. Ulah unggut kalinduan, ulah gedag kaanginan lir ibarat tunggul kawung,” ujar Slamet Riyadi, Kepala Seksi Sejarah dan Kepurbakalaan Disparbud Kuningan, yang menjelaskan bahwa makna tarian itu mengajak rakyat tidak goyah dan memiliki prinsip ketika melakukan sesuatu yang baik (istiqomah), atau tidak mudah goyah karena guncangan dan angin ribut dari luar. Sikap yang demikian itu kokoh bagaikan akar pohon kawung.

Tarian penutup Goyong-goyong menyimbolkan gerak selaras antara rakyat dan pimpinannya. Pada akhir tarian ini, Bupati beserta warga yang menyaksikan atraksi kesenian dalam babarit itu sama-sama ngibing (menari). Pejabat yang semula duduk beralaskan karpet di panggung pun turun menari.

Seusai ngibing bersama, prosesi babarit yang awalnya tenang dan penuh keindahan, di akhir-akhirnya menjadi ramai karena ketika pintu gerbang dibuka, ratusan warga yang memadati halaman pendopo hingga meluber ke jalan raya itu masuk berebut mendapatkan tumpeng untuk dimakan bersama-sama. (Rini Kustiasih)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com