Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kembalinya Gong Kebyar Buleleng

Kompas.com - 04/10/2015, 11:09 WIB
TETABUHAN telu lelambatan terdengar. Tangan dari 38 penabuh gong kebyar dari Sekaa Gong Wanita Lila Bhuana dari Desa Bebetin, Kecamatan Sawah, Buleleng, Bali, cekatan melantunkan ”Nyapah”. Mereka tampil pada Buleleng Festival 2015, Agustus, dan mengembalikan lagi gamelan mepacek sebagai ciri utama gong kebyar Buleleng yang memudar.

Kami tidak akan menggantikan penampilan gong kebyar Buleleng ini dengan gamelan megantung. Kami berkomitmen pada gamelan mepacek. Oleh karena itu, kami meminta pemerintah Buleleng bisa konsisten jika ingin merevitalisasi gong kebyar yang sudah lama memudar ciri utamanya,” kata I Kadek Sefyan Artawan (28), pembina Sekaa Gong Wanita Lila Bhuana, yang juga pengajar seni di Buleleng.

Artawan menyayangkan pemerintah belum konsisten melestarikan gong kebyar Buleleng dengan gamelan mepacek. Ia sendiri tetap berusaha menjaga warisan leluhur. Ia menyerahkan kepada para penabuh ketika ingin tampil.

Gong kebyar merupakan karya seni dari hasil kreativitas masyarakat Bali utara di Buleleng. Bagaikan orkestra, gending-gending kekebyaran menggambarkan semangat dan kemeriahan. Siapa pun pendengar dan penikmatnya menjadi bersemangat ketika gamelan berbunyi.

Ini sesuai dengan arti kebyar dalam kamus bahasa Indonesia, yakni bergemerlapan, bersinar-sinar. Kostum penabuh dan penyanyinya juga menunjang. Pakaian yang cerah dan gemerlapan, menjadikan satu kesatuan gong kebyar yang meriah.

Meski belum ada bukti tahun berapa tepatnya gong kebyar ada, sejumlah seniman mengerucutkan tahun di antara 1913- 1915. Gamelan ini dipercaya muncul karena terpengaruh budaya Barat, seperti orkestra. Tahun ini merupakan seabad lahirnya gong kebyar. Terkait hal itu, Pemkab Buleleng menggelar seminar budaya Se-abad Kejayaan Gong Kebyar Bali Utara, dalam rangkaian agenda Buleleng Festival 2015.

Revitalisasi jadi kata kesimpulan untuk membangkitkan kejayaan gong kebyar itu. Meskipun kekiniannya sudah terdapat berbagai banyak versi dan gaya, para seniman dan akademisi serta pemerintah setempat percaya yang asli bisa kembali.

Pengaruh budaya asing ini masuk sejak jatuhnya Bali ke tangan Belanda yang ditandai perang Puputan Badung (1906) dan Puputan Klungkung (1908). Sejak itu, budaya Bali terintervensi budaya asing. Bali bagian utara, terutama Buleleng, merupakan daerah yang paling mudah membuka diri dari pengaruh budaya asing itu.

Ini tecermin dari hasil penelitian Prof Dr Pande Made Sukerta SSKar, dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, yang menyebutkan Desa Bungkulan di Buleleng menjadi desa pertama yang memiliki peran munculnya gong kebyar.

Sukerta menjelaskan, gong kebyar adalah pengembangan dan perpaduan dari gong wayang, gong gede, dan pelegongan. Gending-gending gong kebyar lahir dari perpaduan antara melodi gending kuno dan baru.

Namun, gamelan mepacek menjadi ciri khas yang tak bisa ditawar. Gamelan mepacek berbeda dengan susunan bilah megantung karena bilahannya tertancap (pacek), bukan tergantung dengan tali. Dengungannya juga berbeda. Gamelan megantung memiliki dengung lama dibandingkan dengan mepacek.

Seiring waktu, gong kebyar dengan gamelan mepacek mulai punah. Ini berkembang mulai tahun 1970-an karena menyebar ke seluruh daerah Bali, terutama ke selatan (Gianyar, Badung, Denpasar). Penyebaran tersebut mengubah satu per satu ciri khas asalnya.

Menurut Prof Dr I Wayan Dibia SST MA, Guru Besar Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar, punahnya gamelan mepacek merupakan kesalahan bersama, karena terlena dengan penampilan gong kebyar dengan gamelan megantung. Parade hingga festival menambah tergerusnya mepacek ini.

”Pemenang lomba gong kebyar menggunakan gamelan megantung. Akhirnya, para pande (pembuat gamelan) kebanjiran pesanan sekaa (kelompok) yang ingin menang menggunakan gamelan megantung. Oleh karena itu, kami setuju jika pemerintah bersedia merevitalisasi gong kebyar dengan gamelan mepacek,” kata Dibia.

Dibia menambahkan, gong kekebyaran ini diakui punya pengaruh dalam perkembangan gamelan serta pementasan seni di Bali. Sejumlah anak muda yang tergabung dalam sanggar dan sekaa di banjar-banjar menjadikan latihan gong kebyar ini selayaknya menu utama, terutama untuk pementasan umum dan perlombaan. Mereka pun merasakan tampil bergengsi dengan gong kekebyaran ini, apalagi terpilih jadi wakil atau duta dari daerahnya untuk tampil di kabupaten serta provinsi.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Buleleng Gede Suyasa berjanji pihaknya akan mewujudkan amanah dari seminar tersebut. ”Mungkin bukan tahun ini, tetapi yang pasti kami berjanji mengagendakan revitalisasi gong kebyar menjadi program yang bisa segera mendapat anggarannya,” kata Suyasa.

Biasanya pada bulan Agustus hingga September menjadi musim latihan menjelang penjaringan dari kecamatan menuju provinsi untuk menjadi duta di Pesta Kesenian Bali. Artawan sebagai pembina mengakui gong kebyar ini memiliki gaya semangat dan kebersamaan serta kekompakan yang tinggi. Sebab, gendingnya yang seperti mengentak-entak.

Akan tetapi, apa pun itu, Artawan terus berharap pelestarian tidak hanya sebatas di dalam ruangan seminar. Ia benar-benar menginginkan pemerintah bisa berlaku adil dan konsisten. ”Mari menampilkan gong kebyar asli Buleleng dengan gamelan mepacek ketika tampil di perlombaan atau di mana saja. Itu jika revitalisasi menjadi kunci mempertahankan budaya leluhur,” ujar Artawan. (Ayu Sulistyowati)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com