Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Adu Gengsi dengan "Ngedan" dan "Nyeni"

Kompas.com - 05/10/2015, 19:33 WIB
Pengiring tarian kuda lumping, leak, dan barong pun dipilih yang enak di hati para penari. Alhasil, gamelan, keyboard, ketipung, dan bas elektrik pun dipadu. ”Warga Grabag juga punya warok, kami juga biasa mementaskan sendratari Singosari, ya tentang Ken Arok. Apa saja, asal menarik, ya kami pentaskan. Tanggapan satu malam pun jadi,” kata Suliyo tertawa.

Adu ”nyeni”

Hibridasi model begini muncul dalam belasan pertunjukan yang disuguhkan wong nggunung. Penari obros dari Desa Petungan di kaki Gunung Sumbing berjoget dengan jenggot palsu sedada, baju gamis sebetis, berkalung tasbih raksasa, dipadu sarung tangan putih dan kacamata hitam. Tanpa beban, panggung Festival Lima Gunung memunculkan segala macam tarian dan tetabuhan.

Buat warga di kaki lima gunung, justru sudah tak musim lagi beradu gengsi dengan mobil atau rumah mewah, antena parabola, atau televisi LCD. Mereka memilih beradu nyeni, sambung-bersambung setiap tahun. Bahkan, dusun-dusun di kaki lima gunung saling intip, mencuri rencana dusun tetangga di Festival Lima Gunung berikutnya.

”Kadang menggemaskan, tetapi juga menggairahkan. Tiap tahun, dusun saya harus punya kreasi tarian baru karena kreasi tahun sebelumnya pasti jadi pasaran dan dicontek. Dusun lain juga selalu membikin tarian baru yang semakin kolosal dan megah. Tarian baru ya berarti kostum baru, alat musik baru. Ada dusun yang nekat beli barong, leak, bahkan gamelan Bali puluhan juta rupiah, demi berunjuk seni. Bagaimana ya, namanya kebahagiaan kan tak ada harganya,” kata Supadi

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com