Apabila mengacu pada standar Badan Perserikatan Bangsa- Bangsa untuk Pendidikan, Keilmuan dan Kebudayaan (UNESCO) tahun 2002, pemenuhan air sekitar 100 orang di Cibiru Tonggoh terbilang ideal. Setiap satu orang setidaknya bisa mendapatkan 62,5 liter air per hari. Jumlah itu lebih banyak daripada standar pemenuhan hak dasar air ala UNESCO, yakni minimal 60 liter per orang dalam sehari.
Peran mata air Cibiru Tonggoh tergolong vital karena berperan besar menghemat pendapatan keluarga yang tinggal di sekitarnya. Apabila dihitung, tarif air negara di Kabupaten Bandung tahun 2014 Rp 2.100 per meter kubik, setidaknya Saidah dan kerabatnya bisa menghemat Rp 1.050 per hari atau setara Rp 31.500 per bulan. Itu cukup melegakan mengingat pendapatan rata-rata kepala keluarga kurang dari Rp 50.000 per hari. ”Kalau tidak ada mata air Cibiru Tonggoh, beban hidup kami mungkin lebih berat,” katanya.
Tawaran rupiah
Harapan itu pula yang membuat Ade Basar (55), warga Cibiru Tonggoh lainnya, enggan melepas mata air Cibiru Tonggoh. Sebelum kepergiannya, almarhum Rais, ayah Ade, berpesan, tanah dan mata air yang ada di dalamnya harus berguna bagi banyak orang di sekitarnya.
”Dulu, tempat ini ditakuti karena pohon buni yang besar dan mitos nini kodok (nenek kodok) yang kabarnya menyeramkan. Sekarang, tempat ini banyak dikunjungi warga, baik untuk memanfaatkan air atau sembahyang. Kebetulan, kami membangun mushala tepat di atas penampungan air Cibiru Tonggoh,” ungkapnya.