Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengalirkan Pesan dari Kaki Manglayang

Kompas.com - 08/10/2015, 13:19 WIB
Iming-iming rupiah juga belum mampu menggoyahkan pendirian Ade. Ia mengaku sudah banyak orang yang datang padanya. Mereka ingin membeli mata air Cibiru Tonggoh untuk kepentingan pribadi atau kelompok. ”Saya memang dapat uang, tetapi bagaimana nasib warga lainnya. Mata air menjadi tumpuan hidup kami,” kata tukang ojek dan buruh bangunan itu dengan pendapatan sekitar Rp 50.000 per hari ini.

Di kaki Gunung Manglayang, praktik jual beli lahan untuk diambil sumber airnya lazim terjadi. Pemilik modal menawar lahan warga yang memiliki sumber mata air untuk kepentingan swasta.

Direktur Eksekutif Walhi Jabar Dadan Ramdhan mengatakan, pertahanan masyarakat Cibiru Tonggoh menjadi semangat yang bisa dicontoh pemerintah. Pasca Mahkamah Konstitusi membatalkan semua pasal dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air beserta enam peraturan pemerintah turunannya, pengaturan sumber daya air kembali dinaungi UU No 11/1974 tentang Pengairan. Keputusan itu diharapkan memunculkan aturan hukum baru mendukung kedaulatan negara mengelola air.

Pengelolaan mata air menjadi salah satu fokus yang harus jadi perhatian negara. Ada sekitar 55.000 mata air digunakan sebagai sumber kehidupan oleh warga di 3.500 desa di Jabar. Namun, kondisi itu tak semuanya sehat. Banyak yang tak terawat. ”Saat pemerintah belum mampu, masyarakat Cibiru Tonggoh lebih dulu menyelamatkan air untuk kehidupan,” kata Dadan.

Jalan terjal

Tak terasa kegembiraan perang cai di Cibiru Tonggoh usai sejam kemudian. Beberapa orang mulai menggigil kedinginan. Namun, kehangatan pada sore itu belum hilang. Di akhir acara, peserta perang cai membentuk lingkaran dan bersepakat. Mereka berkomitmen menggelar lagi acara serupa di tahun depan. Syaratnya satu, menjaga mata air tetap mengalir dan mempertahankannya sebagai milik komunal masyarakat.

Ade ada di dalam lingkaran itu. Dia optimis, meski tahu jalan yang dipilihnya bersama warga mungkin terjal.

”Setelah pohon buni tumbang sekitar tahun 1980-an, belum ada tanaman penggantinya. Sumur penampungan air pun mulai rusak akibat erosi. Sejauh ini, hanya dilakukan perbaikan seadanya bersama warga. Warga ada yang menyumbang semen, batu, dan lantai keramik. Biaya perbaikannya juga dilakukan bersama-sama,” katanya.

Dari kaki Gunung Manglayang, warga Cibiru Tonggoh seperti mengajarkan arti penting kedaulatan air. Pelajaran penting bagi pemerintah. Bahkan, bisa menjadi penyemangat bagi warga di daerah lain yang sedang menapaki jalan terjal yang sama. (Cornelius Helmy H)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Oktober 2015, di halaman 24 dengan judul "Mengalirkan Pesan dari Kaki Manglayang".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com