Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengalirkan Pesan dari Kaki Manglayang

Kompas.com - 08/10/2015, 13:19 WIB
ENTAH siapa yang memulai lemparan pertama air terbungkus plastik ke udara sebelum mendekati Bumi. Sasarannya, puluhan pemuda bertelanjang dada yang bergerombol menutupi Jalan Sadang Reret, Cibiru Tonggoh, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, selebar empat meter. Tanpa aba-aba, lemparan pertama tersebut memicu ”bom air” lain beterbangan mencari sasaran.

Ditemani musik kesenian reak, seni tradisional Sunda, warga berbagi sukacita dan syukur dilimpahi banyak air dalam acara tahunan, Hajat Lembur Perang Cai, Minggu (20/9/2015) mulai pukul 15.30 WIB. Ratusan warga terhanyut dalam kegembiraan itu.

Asep Riki (24), warga Cibiru Tonggoh, yang bertubuh besar, menjadi sasaran tembak empuk. Otot lengannya yang besar leluasa mengangkut air dalam ember besar dan menumpahkannya pada siapa saja yang ada di dekatnya. Begitu seterusnya, tanpa dendam, air jernih dari mata air Cibiru Tonggoh itu benar-benar memberikan kegembiraan bagi warga setempat.

”Kami merayakan kemampuan mata air Cibiru Tonggoh yang tetap bertahan di musim kemarau panjang kali ini,” kata Asep Riki.

Mas Nanu Munajar Dahlan, penggagas acara perang cai (air), mengatakan, perang cai lebih dari sekadar acara hura-hura. Sebelum acara, dipanjatkan doa kepada Ilahi sebagai syukur atas nikmat dan berkah air melimpah bagi warga.

”Tidak banyak daerah di Indonesia mendapatkan keistimewaan ini. Kami jelas harus berterima kasih dengan berkah ini,” ujarnya.

Merayakan kelimpahan air ini seperti lanjutan dari tradisi yang lama hidup di masyarakat Sunda. Ia mencontohkan acara adat ngalokat cai atau syukuran aliran air di Bandung Barat, ngabuntu untuk persiapan musim tanam di Subang, babangkongan di Kuningan, dan oded di Majalengka untuk meminta hujan, serta babarit di Karawang dan ngaruwat cai di Garut untuk upacara tolak bala.

”Tradisi ini banyak yang masih tumbuh, tetapi ada juga yang sudah mati. Sumber airnya telanjur rusak,” katanya.

Harapan

Tinggal 30 meter dari arena perang cai, Nyai Saidah (50), warga Cibiru Tonggoh lainnya, hanya mengintip dari balik jendela kaca. Sore itu, ia cukup terhibur saat melihat tingkah warga saat air mengguyur tubuh. ”Tuh tingali tepi ka baseuh kitu, karunya pisan (Lihat sampai basah semua, kasihan sekali),” kata Saidah sembari tertawa lepas.

Akan tetapi, bagi Saidah, mata air Cibiru Tonggoh tidak sekadar pandai menghiburnya sore itu. Air Cibiru Tonggoh sejak lama piawai menghidupi dia dan anggota keluarganya. Cukup mengalirkan selang plastik, air jernih berguna untuk keperluan makan, minum, memasak, dan mandi sehari-hari.

Saidah mengatakan, setidaknya ia bisa menampung sekitar 500 liter dalam dua wadah penampungan plastik untuk kebutuhan sehari. Ada delapan orang yang tinggal bersamanya dalam dua rumah berdempetan.

Apabila mengacu pada standar Badan Perserikatan Bangsa- Bangsa untuk Pendidikan, Keilmuan dan Kebudayaan (UNESCO) tahun 2002, pemenuhan air sekitar 100 orang di Cibiru Tonggoh terbilang ideal. Setiap satu orang setidaknya bisa mendapatkan 62,5 liter air per hari. Jumlah itu lebih banyak daripada standar pemenuhan hak dasar air ala UNESCO, yakni minimal 60 liter per orang dalam sehari.

Peran mata air Cibiru Tonggoh tergolong vital karena berperan besar menghemat pendapatan keluarga yang tinggal di sekitarnya. Apabila dihitung, tarif air negara di Kabupaten Bandung tahun 2014 Rp 2.100 per meter kubik, setidaknya Saidah dan kerabatnya bisa menghemat Rp 1.050 per hari atau setara Rp 31.500 per bulan. Itu cukup melegakan mengingat pendapatan rata-rata kepala keluarga kurang dari Rp 50.000 per hari. ”Kalau tidak ada mata air Cibiru Tonggoh, beban hidup kami mungkin lebih berat,” katanya.

Tawaran rupiah

Harapan itu pula yang membuat Ade Basar (55), warga Cibiru Tonggoh lainnya, enggan melepas mata air Cibiru Tonggoh. Sebelum kepergiannya, almarhum Rais, ayah Ade, berpesan, tanah dan mata air yang ada di dalamnya harus berguna bagi banyak orang di sekitarnya.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO Warga Kampung Cibiru Tonggoh, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, melakukan Hajat Lembur Perang Cai di kampung mereka, Minggu (20/9/2015). Acara ini merupakan bentuk ungkapan rasa syukur mereka atas terjaganya mata air yang memenuhi kebutuhan warga meskipun kemarau panjang.
”Dulu, tempat ini ditakuti karena pohon buni yang besar dan mitos nini kodok (nenek kodok) yang kabarnya menyeramkan. Sekarang, tempat ini banyak dikunjungi warga, baik untuk memanfaatkan air atau sembahyang. Kebetulan, kami membangun mushala tepat di atas penampungan air Cibiru Tonggoh,” ungkapnya.

Iming-iming rupiah juga belum mampu menggoyahkan pendirian Ade. Ia mengaku sudah banyak orang yang datang padanya. Mereka ingin membeli mata air Cibiru Tonggoh untuk kepentingan pribadi atau kelompok. ”Saya memang dapat uang, tetapi bagaimana nasib warga lainnya. Mata air menjadi tumpuan hidup kami,” kata tukang ojek dan buruh bangunan itu dengan pendapatan sekitar Rp 50.000 per hari ini.

Di kaki Gunung Manglayang, praktik jual beli lahan untuk diambil sumber airnya lazim terjadi. Pemilik modal menawar lahan warga yang memiliki sumber mata air untuk kepentingan swasta.

Direktur Eksekutif Walhi Jabar Dadan Ramdhan mengatakan, pertahanan masyarakat Cibiru Tonggoh menjadi semangat yang bisa dicontoh pemerintah. Pasca Mahkamah Konstitusi membatalkan semua pasal dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air beserta enam peraturan pemerintah turunannya, pengaturan sumber daya air kembali dinaungi UU No 11/1974 tentang Pengairan. Keputusan itu diharapkan memunculkan aturan hukum baru mendukung kedaulatan negara mengelola air.

Pengelolaan mata air menjadi salah satu fokus yang harus jadi perhatian negara. Ada sekitar 55.000 mata air digunakan sebagai sumber kehidupan oleh warga di 3.500 desa di Jabar. Namun, kondisi itu tak semuanya sehat. Banyak yang tak terawat. ”Saat pemerintah belum mampu, masyarakat Cibiru Tonggoh lebih dulu menyelamatkan air untuk kehidupan,” kata Dadan.

Jalan terjal

Tak terasa kegembiraan perang cai di Cibiru Tonggoh usai sejam kemudian. Beberapa orang mulai menggigil kedinginan. Namun, kehangatan pada sore itu belum hilang. Di akhir acara, peserta perang cai membentuk lingkaran dan bersepakat. Mereka berkomitmen menggelar lagi acara serupa di tahun depan. Syaratnya satu, menjaga mata air tetap mengalir dan mempertahankannya sebagai milik komunal masyarakat.

Ade ada di dalam lingkaran itu. Dia optimis, meski tahu jalan yang dipilihnya bersama warga mungkin terjal.

”Setelah pohon buni tumbang sekitar tahun 1980-an, belum ada tanaman penggantinya. Sumur penampungan air pun mulai rusak akibat erosi. Sejauh ini, hanya dilakukan perbaikan seadanya bersama warga. Warga ada yang menyumbang semen, batu, dan lantai keramik. Biaya perbaikannya juga dilakukan bersama-sama,” katanya.

Dari kaki Gunung Manglayang, warga Cibiru Tonggoh seperti mengajarkan arti penting kedaulatan air. Pelajaran penting bagi pemerintah. Bahkan, bisa menjadi penyemangat bagi warga di daerah lain yang sedang menapaki jalan terjal yang sama. (Cornelius Helmy H)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Oktober 2015, di halaman 24 dengan judul "Mengalirkan Pesan dari Kaki Manglayang".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com