”Kalau di luar musim panen, pohon dengan satu-dua sarang kembali dilirik. Kalau lebah galak-galak, berarti banyak madu. Ada juga yang mengecek madu pada tubuh lebah,” ungkap Yoseph.
Kuncinya mental
Yoseph sudah 22 tahun menjadi pemanjat. Keahlian ini tidak pernah dipelajari khusus. Sejak kecil, ia hanya kerap menyaksikan ayahnya memanjat pohon demi pohon dan memanen madu. Ketika dewasa, dengan sendirinya, anak-anak pemanjat akan menggantikan ayah-ayah mereka. ”Kuncinya hanya mental. Harus berani,” katanya.
Jangan bayangkan para pemanjat ini menggunakan pengaman ketika bekerja. Mereka hanya memanjat begitu saja. Memeluk pohon dan meniti melalui kulit kayu. Satu-satunya alat bantu adalah sebatang bambu yang masih memiliki buku-buku untuk pijakan kaki. Batang bambu ini diikat dengan kulit kayu di batang pohon.
Sebagai bekal, Yoseph membawa seutas tali yang digunakan sebagai alat transportasi dari atas ke bawah. Ia juga menyelipkan parang di pinggang. Melihatnya memanjat, kita terkagum-kagum sekaligus deg-degan. Gerakannya cepat dan dengan segera sudah sampai di atas.