Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Pasilagek", Ritual Tradisional Mentawai

Kompas.com - 18/10/2015, 11:53 WIB
Kawat ukkui rop akek kap aku

Ta Giok Pameruk

(Mari leluhur. Bantu saya. Kita akan memarut dedaunan ini (untuk mengobati orang sakit)

Aroma menyengat dedaunan segar yang dihaluskan dengan parut dari pelepah rotan merebak ke seluruh penjuru ruangan. Sesaat kemudian, mantra mulai dilapalkan. Semua orang terdiam. Anjing yang lalu lalang di atas rumah panggung itu mendadak tenang.

Rabu (2/9/2015) malam sekitar pukul 20.00 WIB, dalam temaram cahaya lampu minyak, dua sikerei, yakni Pius Sadodolu (60) dan Elyas Sabailatti (80), memulai ritual pengobatan (pasilagek) salah seorang warga Dusun Salappak, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, yang sedang sakit keras.

Sikerei, sebutan dukun dan ahli pengobatan Mentawai, itu duduk di atas tikar rotan di bagian tengah ruangan, tidak jauh dari kamar tempat warga yang sakit.

Cahaya lampu berpendar memperlihatkan sosok mereka yang mengenakan hiasan kepala berupa rangkaian manik dan bulu ayam, aksesori yang diikat di belakang kepala, kalung dan rangkaian manik-manik dan kaca, gelang di siku dan lengan, ikat pinggang dari kain, serta cawat sebagai pengganti celana.

Dengan penampilan tersebut, Sikerei dianggap terlihat lebih indah sehingga menarik perhatian roh.

Ritual dimulai dengan menghaluskan dedaunan (masigiok pameruk). Selama prosesi ini, sikerei terus melapalkan mantra. Di depan mereka, diletakkan dua piring putih kosong untuk menampung hasil parutan.

Mantra yang dilapalkan menandakan sikerei tengah berkomunikasi dengan leluhur (ukkui) yang akan membantunya dalam ritual itu.

Pasilagek memang dipercaya tidak dilakukan sikerei saja, tetapi juga oleh roh leluhur atau penguasa tempat yang dianggap sebagai tempat pasiennya mendapat penyakit, seperti hutan, laut, atau sungai.

”Saat mulai bekerja, mereka tidak lagi berdua, tetapi bersama kawannya yang tidak kasatmata,” kata Herman Salaisek (59), pemilik rumah. Pasien sikerei yaitu Sinomane Sangong (80), ibu dari Herman.

Di sela-sela prosesi awal itu, sikerei berhenti sejenak begitu piring pertama terisi penuh. Tak lama berselang, sikerei kembali memarut dedaunan untuk mengisi piring kedua. Setelah proses itu selesai, warga yang sakit dipapah keluar ruangan.

Wajahnya yang terpapar cahaya lampu terlihat sayu. Tubuhnya juga tampak lemah. Tanpa mengucap sepatah kata, dia duduk di atas lantai kayu.

Sikerei lalu memulai pasibitbit. Prosesi ini adalah mengusir roh jahat yang membuat warga itu sakit. Sambil berdiri, kedua sikerei menggenggam dedaunan beserta lonceng kecil yang kemudian digerakkan di atas kepala sang pasien.

Sikerei lalu berjalan ke arah pintu keluar sambil mengibas-ngibaskan dedaunan dan lonceng tersebut. Mereka seperti tengah mendorong sesuatu yang tidak kasatmata keluar dari ruangan. Gerakan tersebut diulang empat kali.

Di bagian akhir, sikerei meletakkan dedaunan di ventilasi agar roh jahat tidak kembali lagi.

Kedua sikerei duduk di sisi kiri-kanan pasien, untuk melulurkan dedaunan yang telah dihaluskan ke tubuh pasiennya (pasiporot). Prosesi yang disertai pijatan ringan itu dilakukan dua kali. Pertama, bertujuan mencabut penyakit dalam diri sang pasien.

Sementara yang kedua sebagai obat agar penyakit itu tidak kembali. Prosesi ini ditutup dengan penyembelihan ayam (pasimate gougou). Selanjutnya, pasien dipapah kembali masuk ke dalam kamarnya.

Di Mentawai ada kepercayaan jika seseorang sakit, jiwanya meninggalkan raganya. Oleh
karena itu, dilakukan simagere atau prosesi memanggil jiwa. Simagere dilakukan sikerei dengan duduk di pinggir pintu rumah.

Mereka melapalkan mantra di depan piring berisi hati ayam. Setelah itu, sikerei masuk ke kamar dan memberikan sebagian hati ayam kepada warga yang sakit, sebagai media untuk mengembalikan jiwa pasien.

Sebelum menyelesaikan tugasnya, salah satu sikerei duduk di samping kepala keluarga dan kembali melapalkan mantra. Tahapan itu untuk memberikan kekuatan kepada keluarga agar tetap tenang meskipun ada anggota keluarganya yang sakit.

Seusai pengobatan, pasien memang tidak langsung sembuh. Namun, sehari kemudian, dia keluar rumah dan duduk di beranda. Wajahnya juga jauh lebih sehat dan segar.

Terus berkurang

Bagi masyarakat Mentawai, sikerei memiliki peran penting. Tidak hanya karena keahlian mereka meramu obat-obatan, tetapi juga karena perannya pada berbagai siklus kehidupan masyarakat Mentawai. Sayangnya, meski penting, jumlah sikerei terutama di Pulau Siberut terus berkurang.

”Menjadi seorang sikerei tidak mudah. Ada banyak pantangan yang tidak boleh dilanggar. Hal itu membuat warga tidak ingin menjadi sikerei,” kata Pius Sadodolu yang sudah lebih dari 20 tahun menjadi sikerei.

Koordinator Divisi Pendidikan dan Kajian Budaya Yayasan Cintra Mandiri Mentawai (YCMM) Tarida Hernawati S mengatakan, regenerasi sikerei kian sulit.

Jumlah sikerei di Siberut saat ini tidak sampai 500 orang. Itu berbeda dengan puluhan tahun lalu, saat hampir setiap kepala keluarga menjadi sikerei.

”Berkurangnya sikerei, juga sebagai dampak arus pembangunan yang lebih mengejar target dan cenderung mengabaikan kearifan lokal. Seharusnya, program pemerintah, misalnya bidang kesehatan di daerah dengan geografis sulit seperti Mentawai, bisa menjadikan sikerei kader kesehatan. (Ismail Zakaria)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com