Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jejak Portugis di Kampung Tugu

Kompas.com - 22/10/2015, 10:03 WIB
GUIDO Quiko (46), warga keturunan Portugis, memainkan gitar kecil berdawai tiga di depan rumahnya di Kampung Tugu, Jakarta Utara, Sabtu (10/10/015). Di antara semilir angin, debu beterbangan, dan suara bising truk peti kemas yang melintas, Guido menyanyikan lagu berjudul ”Gatu Du Matu”.

”Yao la teng unga gatu

Swa kabelu pretu pretu dretu

Yo su ulu nungku bergonya

Buska filu, filu burnit

Teng Unga gatu anda ronda

Yo uni unga ratu kaba

Korsangnu yo kere intra

Buska filu yo kere kaja”

(Saya melihat ada seekor kucing/Dengan bulu lebat yang hitam/Saya melihat kucing itu tanpa terhalang apa pun/Bagaikan pemuda, pemuda yang tampan sekali/Seekor kucing yang terlihat sedang berkeliling/Siap menangkap tikus yang mau menggali (masuk)/Dalam hati, saya ingin masuk/Pemuda ini, saya ingin nikahi).

Itulah sepenggal lirik ”Gatu Du Matu” atau Kucing Hitam. ”Selama puluhan tahun menyanyikan lagu-lagu Portugis, saya tidak tahu apa artinya. Setelah ada mahasiswa dari Universitas Indonesia datang meneliti bahasa Kreol Tugu, saya baru tahu arti lagu itu,” kata Guido.

Pemimpin kelompok musik Orkes Keroncong Cafrinho Tugu itu berdiri di hadapan belasan pelajar SMP yang mengikuti acara ”Pelatihan Dokumentasi Kebudayaan Tugu melalui Penulisan Populer”. Kegiatan diselenggarakan Laboratorium Leksikologi dan Leksikografi FIB UI.

Guido menuturkan, keberadaan komunitas masyarakat Kampung Tugu tak lepas dari sejarah kota perdagangan di Malaka, Malaysia. Selama periode 1511-1641, Malaka berada di bawah kendali pasukan Portugis.

Pada 1648, Belanda menguasai Malaka. Tentara Portugis yang berasal dari Goa, Bengal, Malabar, dan daerah-daerah jajahan lainnya dijadikan tawanan perang. Mereka lalu dibawa ke Batavia untuk dijadikan pekerja atau serdadu VOC.

Sejumlah pekerja yang sudah dibebaskan dari perbudakan (disebut Mardijkers) dipaksa memeluk agama Kristen Protestan. ”Kami diasingkan ke daerah tenggara Batavia yang waktu itu sangat terpencil dan jauh dari keramaian kota,” katanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com