Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jangan Ditiru, Nekat ke Eropa Tanpa Tiket dan Paspor

Kompas.com - 22/10/2015, 16:15 WIB
Jonathan Adrian

Penulis

KOMPAS.com - Bagi orang Aceh di tahun 1960-an, jika sudah merantau ke Jakarta, seseorang akan dipandang hebat. Tak peduli apapun kondisi dia di Jakarta, mau menggembel, atau pulang lagi ke Aceh sebagai gelandangan.

“Orang bayangkan kalau sudah ke Jakarta akan punya mobil, terpengaruh dari tontonan Bung Karno,” kisah Penulis Buku Penumpang Gelap, Alijullah Hasan Jusuf di Peluncuran dan Diskusi Buku Penumpang Gelap: Menembus Eropa Tanpa Uang, Sabtu (17/10/2015).

Ali hampir menjadi salah satu gelandangan di Tanjung Priok. Jika tak nekat, Ali merasa akan berakhir sama seperti gembel. Luntang-lantung hidupnya di Jakarta sebagai penjual koran, ia bercita-cita kelak ingin sekolah di luar negeri.

Mimpinya sulit terwujud karena uang sebagai penjual koran di Lapangan Banteng tak banyak. Untuk makan saja pas-pasan. Akhirnya pria yang akrab disapa Bang Ali ini memutuskan menjadi penumpang gelap dan terbang ke Eropa.

“Saya sadar ini penuh resiko, tapi resiko itu pekerjaan saya, kalau pekerjaan yang mudah itu tugas hansip,” canda Bang Ali.

Setiap pulang sekolah Bang Ali datang ke bandara untuk mempelajari sistem di sana. Sampai-sampai ia sering ditanya rekannya, mengapa ia ke bandara setiap hari. Biasanya ia menjawab datang ke bandara karena menjemput teman.

"Masa teman datang setiap hari,” kisah Bang Ali disambut tawa pengunjung.

Maka suatu ketika Bang Ali menemukan boarding pass bekas dan mulai menentukan tanggal terbang. Rencana penerbangan pertama ia batalkan, karena malam sebelumnya Bang Ali bermimpi ada burung tertembak dan jatuh. Benar saja pesawat yang ia sasar mengalami gagal mesin dan turun kembali.

Bang Ali menentukan tanggal kedua. Ia menyusup dalam rombongan pelajar Belanda hingga masuk ke pesawat. Saat ditanya bagaimana Bang Ali bisa lolos perhitungan penumpang, ia menerangkan, “karena pesawat sudah mau berangkat, jadi salah hitung juga tetap terbang".

Saat itu, maskapai Garuda Indonesia yang ia terbangi transit di banyak negara seperti Singapura, Thailand, India, Pakistan, Mesir, Italia, barulah tiba di Belanda.

“Waktu perhitungan penumpang di Singapura lebih tegang lagi, karena alat mereka canggih, sampai petugasnya marah dikira alat hitungnya rusak,” terang Bang Ali.

Ia mengira kelolosannya di setiap negara transit mungkin karena faktor waktu. Sebagian besar penerbangan antar-negara tersebut dilakukan malam-ke-malam.

“Petugasnya sudah malas mungkin,” candanya.

Maka tibalah Bang Ali, seorang putra Aceh, penjual koran di Lapangan Banteng, Jakarta, di Amsterdam. Sayang riset Bang Ali kurang lengkap, ia tak siap menghadapi suhu minus 10 derajat celcius.

Bang Ali berakhir ditangkap petugas imigrasi Bandara Internasional Schiphol Amsterdam. Tak bisa berbahasa Inggris, Bang Ali hanya menjawab setiap pertanyaan dengan kata “school”. Maka ia dipenjara satu hari di sana.

“Biarlah lebih baik daripada jadi patung es di Bandara Schiphol Amsterdam,” kata istri Bang Ali, Suryati yang melanjutkan membaca naskah Bang Ali dalam peluncuran bukunya.

Dalam peluncuran, Bang Ali turut menjadi pendengar saat naskahnya dilanjutkan oleh sang istri. Ia mengaku tak pernah kuat dan selalu ingin menangis setiap mengingat kisahnya menjadi penumpang gelap.

Kompas.com/Jonathan Adrian Buku autobiografi Alijullah Hasan Jusuf, Penumpang Gelap: Menembus Eropa Tanpa Uang.
Seluruh kisahnya ini ia curahkan dalam buku autobiografi Penumpang Gelap:Menembus Eropa Tanpa Uang. Menurut Wartawan Senior Kompas, Budiarto Sambazi, buku ini terdiri dari tiga babak: kisah Bang Ali di Jakarta, bagaimana Bang Ali menjadi penumpang gelap, dan kisahnya menjadi tahanan. Setiap babak diceritakan dengan detail dengan narasi yang menarik, sehingga pembaca dapat menangkap situasi saat itu, terutama situasi politik dan ekonomi di Jakarta.

Budiarto Sambazi sendiri adalah teman lama Bang Ali saat di Paris. Budiarto yang saat itu sedang meliput kejuaraan Euro menumpang di tempat Bang Ali. Saat itu tahun 1984 dan Bang Ali sudah mengatakan, “ada rahasia besar yang kelak akan saya bukukan,” kisah Budiarto menirukan ucapan Bang Ali.

Empat puluh tahun sudah Bang Ali menyimpan rahasia ini hingga menjadi buku, banyak rekannya yang terkejut setelah mengetahui cara Bang Ali tiba di Eropa. Sebelum diskusi buku dilanjutkan, Mullyawan Karim mengingatkan,

“Cara Bang Ali ini jangan ditiru, tapi yang terpenting bagi kita adalah semangatnya, membuktikan di mana ada kemauan ada jalan,” terangnya.

Maka muncul pertanyaan, jika Bang Ali dipulangkan dari Amsterdam ke Indonesia, bagaimana Bang Ali bisa tiba dan hidup di Perancis?

“Tunggu saja buku kedua saya,” tuturnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com