Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merajut Sumber (Mata) Air di Palue

Kompas.com - 26/10/2015, 18:11 WIB
FLORES. Sebuah kata yang membawa imajinasi pada rangkaian pulau di Indonesia bagian timur, dengan keindahan lansekap dan ragam budaya serta tradisi adat yang yang eksotis.

Bayangan akan eksotisme di Flores memang nyata. Langit biru yang bersih, udara kering yang menyengat kulit, hingga topografi savana yang khas. Namun di salah satu pulau, tepatnya di utara Ende, bayangan indahnya alam di Flores seketika berganti muram.

Pulau Palue, yang notabene pulau gunung api, mengalami bencana pada bulan Februari dan Agustus tahun 2013 silam. Gunung Rokatenda meradang dua kali ketika itu.

Status Gunung Rokatenda ditetapkan siaga pasca erupsi, mengharuskan penghuni Pulau Palue selalu siap untuk evakuasi jika sewaktu-waktu Rokatenda melontarkan material erupsi. Beberapa desa di Palue seperti Nitunglea, Rokirole, Tuanggeo, Lidi dan Kesokoja masuk dalam kawasan rawan bencana.

Warga Pulau Palue sebagian mengungsi di sepanjang pantai Ropa, di Ende. Selama ini mereka menyambung hidup dengan tetap melaut. Sebagian warga Palue lainnya tetap memilih bertahan di kampung halaman.

Pulau Palue sejatinya adalah tubuh gunung api Rokatenda, yang menjulang dari dasar laut Flores dengan ketinggian 3000 meter dan 875 meter bila diukur dari permukaan laut. Palue dalam bahasa lokal berarti ‘mari pulang’.  Kecamatan Palue yang mempunyai luas 41 km2, terbagi menjadi 8 desa yaitu Maluriu, Reruwairere, Kesokoja, Ladolaka, Tuanggeo, Rokirole, Nitunglea dan Lidi.

Ritual Pua dan Pati Karapau

Hebatnya amuk Rokatenda pada 10 Agustus 2013 lalu, menjadi tanda bagi warga Rokirole menyelenggarakan serangkaian ritual. Lima orang nelayan dari desa Rokirole  yang tengah tidur di perahu menjadi korban.

Ritual yang disebut ritual Pua dan Pati Karapau ini, yang diselenggarakan warga Dusun Koa, Desa Rokirole. Dari dusun Koa, bibir kawah Rokatenda terlihat jelas menjulang. Pantai Punge, tempat ritual Pua dan Pati Karapau, merupakan jalur aliran lahar Rokatenda yang meletus 10 Agustus 2013 silam.

Pua dan Pati Karapau adalah ritual pemulihan alam dengan mengorbankan kerbau kepada watu tana atau tuhan penguasa alam semesta. Ritual lima tahunan ini diadakan secara bergilir untuk beberapa desa. Kali ini desa Nitunglea, Tuanggeo  dan Ladolaka yang menghelat ritual Pua dan Pati Karapau.

Dalam ritual ini, perempuan diharuskan menggunakan tenun ikat Thama, sedangkan yang lelaki memakai tenun ikat Nea. Ritual diawali dengan Pua Karapau, yang berarti menjemput kerbau. Dua hari kemudian ritual dilanjutkan dengan Pati Karapau, yang berarti potong kerbau.

Pulau tanpa sumber air

Pulau Palue bukan hanya masuk sebagai kawasan rawan bencana. Ketiadaan sumber air alami di permukaan serta tanah yang kering, membuat pulau Palue semakin tidak layak huni. Kenyataannya, 30 persen  dari luas pulau masih dihuni lebih dari 10 ribu jiwa.

Masyarakat memenuhi kebutuhan air dengan membuat tempat penampungan air hujan. Sedangkan makanan, warga mendapatkan dari berladang dan mencari hasil laut. kebutuhan jenis makanan lain, biasanya dibeli di Ropa atau Maumere.

Nitunglea adalah salah satu desa yang terkena muntahan lahar Rokatenda pada Oktober 2013. Pasca amuk Rokatenda, Nitunglea menjadi desa mati. Sisa-sisa material vulkanik menyelimuti desa.

Namun masih ada beberapa warga memilih berdamai dengan kondisi yang serba terbatas. Tres Endai (37) adalah salah satu warga dusun Awa desa Nitunglea. Sekali dalam seminggu Tres biasa turun ke pantai, untuk mengambil bahan makanan bantuan.

Sedangkan untuk kebutuhan air, seperti halnya masyarakat pulau Palue yang lain, Tres menampung air hujan. Air dalam penampungan ini dihemat untuk melalui musim kemarau.

Pasca erupsi Rokatenda Oktober 2013, Ibu Toji (56) satu-satunya keluarga yang tinggal di bagian bawah dusun Awa. Selain mendapatkan kiriman uang dari anaknya untuk bertahan hidup, Ibu Toji biasa mencari sisa ubi dari ladang-ladang yang sudah ditinggalkan karena erupsi Rokatenda.

Sumber air menjadi barang langka. Jika tak ada hujan yang bisa ditampung Ibu Toji dan Anjas, cucunya, akan menyeberang ke Ropa untuk membeli air. Cerita tentang mendapatkan air dari batang pohon pisang untuk air minum, berasal dari desa ini.

Di desa yang serasa tanpa denyut kehidupan, satu keluarga ini bertahan tanpa fasilitas listrik kesehatan atau pun pendidikan. Tak peduli Rokatenda meletus lagi atau air minum yang sulit didapat, warga Nitunglea dalam kesederhanaan, tetap menatap kehidupan dengan penuh asa.

KompasTV Ibu Tijo bersama cucu menghabiskan hari di pondok
Menyuling uap panas bumi

Dusun Cawalo adalah salah satu dusun di Koa, yang berada di zona merah, atau wilayah yang masuk kawasan rawan bencana 1, yang hanya berjarak tiga kilometer dari titik erupsi. Dengan kata lain, Dusun Cawalo sebenarnya tidak boleh dihuni lagi sejak erupsi 10 Agustus 2013.

Namun, seperti halnya warga Nitunglea, warga Cawalo memilih tetap bertahan. Hilda, salah satu warga Cawalo, baru seminggu kembali dari pengungsian. Hilda dan keluarga mengungsi ke Ropa, sejak 10 September 2013 hingga 9 Oktober 2013.

Sebenarnya, pemerintah telah menghimbau seluruh penghuni Pulau Palue, terutama masyarakat yang hidup di zona merah seperti Desa Rokirole, Nitunglea, dan Lidi untuk pindah ke Pulau Besar.

Bagi warga yang menolak untuk dievakuasi, pulau itu tak ubahnya seperti Pulau Palue yang berada dalam zona merah. Sebab, tahun 1992 silam Pulau Besar digulung tsunami, yang menewaskan seluruh penghuni pulau. Hal yang sama akan terjadi lagi, jika Pulau Besar diguncang gempa tektonik.

Di Desa Cawalo terdapat “tambang emas” Palue yang sebenarnya. Sumber penyulingan air dari uap panas bumi. Sumber air ini sudah dimanfaatkan warga sejak dua puluh tahun lalu. Bambu sepanjang 10 meter ditancapkan ke tanah dan disambung dengan bambu lain di bagian atasnya.

Uap akan naik melalui bambu yang disambung-sambung dan menjadi buliran air yang menetes di ujung bambu. Selama 24 jam air yang tertampung bisa memenuhi satu jerigen.

Gunung Api Rokatenda yang masih tergolong gunung muda dan kondisi permukaan tanahnya yang tidak terlalu tinggi, menyebabkan tidak ada sumber air yang muncul ke permukaan. Dapur magma Rokatenda yang mendekati permukaan memanasi air di dalam lapisan batuan, sehingga menjadi uap dan keluar melalui rekahan pada permukaan bumi. 

Uap inilah yang hingga hari ini dimanfaatkan warga Cawalo untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Penyulingan uap panas yang diinstalasi bambu dalam jumlah besar terdapat di Bukit Poa Nua Kaju, di Desa Tuanggeo.

Tiap sore, iring-iringan anak-anak hingga orang dewasa, berjalan menuju bukit ini, sambil membawa jeriken. Di atas bukit terlihat saujana indah khas Flores. Lekuk perbukitan dengan latar belakang laut Flores.

Sore hari bukit Poa Nua Kaju sudah dipenuhi warga yang datang mengambil air. Instalasi bambu yang berjumlah hingga ratusan, menjamin air yang melimpah di wadah-wadah yang sudah disiapkan sebelumnya. Bila di tiba di bukit Poa Nua Kaju, warga tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk hanya mengambil air yang dibawa pulang untuk minum dan memasak, tetapi juga untuk mandi dan mencuci.

Di atas tanah gersang dan bahkan ancaman bencana erupsi gunung Rokatenda, warga Palue tetap menyematkan asa untuk bertahan dan meneruskan hidup di tanah kelahiran mereka. Keterbatasan untuk mengakses dan perjuangan berat mendapatkan air mineral yang vital untuk hidup, tetap mereka lakoni hari demi hari. (KompasTV/Herwanto)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com