Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Pemondokan Sie Kong Liong

Kompas.com - 28/10/2015, 13:28 WIB
Oleh: C Windoro Adi

SAAT ujian tiba, suasana di pemondokan Sie Kong Liong, yang biasanya riuh dengan diskusi politik, senyap. Para mahasiswa yang menghuni rumah di Jalan Kramat 106, Senen, Jakarta Pusat, itu mengurung diri hampir sepanjang hari di kamar masing-masing. Inilah sepenggal kisah di Gedung Sumpah Pemuda.

Kala itu, di ruang tengah masih ada beberapa mahasiswa yang bermain biliar atau kartu remi. Menjelang pukul 24.00 mulai terdengar bunyi-bunyian. Amir Sjarifoeddin, yang kelak menjadi Perdana Menteri RI, melepas penat belajarnya dengan memainkan biola.

”Ia biasanya memainkan karya-karya Schubert atau serenata lain bernada sentimentil. Saya lalu membalas gesekan biolanya, melantunkan karya musik yang sama,” tulis Abu Hanifah, gelar Datuk Maharaja Emas dalam buku Manusia dalam Kemelut Sejarah (LP3ES, Jakarta, 1978).

Abu kemudian menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 1949-1950 dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat dan pernah menjadi Duta Besar RI untuk Brasil.

Tak begitu lama, Yamin (Mohammad Yamin, Menteri Kehakiman 1951-1952; Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan pada 1953-1955; Menteri Urusan Sosial dan Budaya pada 1959-1960) berteriak dari kamarnya menyuruh Abu dan Amir berhenti main biola.

Sebab, Yamin sedang menerjemahkan karya Rabindranath Tagore yang harus masuk ke Penerbit Balai Pustaka bulan itu juga.

Pemondokan ini, seperti ditulis dalam buku Panduan Museum Sumpah Pemuda (Museum Sumpah Pemuda, Jakarta, 2015), terdiri dari bangunan utama dan 14 paviliun yang berdiri di atas lahan seluas 1.041 meter persegi. Luas bangunan utama 460 meter persegi, sementara luas setiap paviliun 45 meter persegi.

Gedung utama itu, selain digunakan sebagai pemondokan mahasiswa, pada zamannya juga dimanfaatkan para pemondoknya sebagai arena diskusi politik, ruang baca, bermain biliar, dan tenis meja.

”Yang menghuni pemondokan ini awalnya adalah anggota Jong Java. Sebagian besar mereka kuliah di Sekolah Dokter Hindia di Gedung Stovia (di Jalan Abdurahman Saleh Nomor 26, Jakarta Pusat, masa kini). Mereka pindahan dari pemondokan di Jalan Kwitang Nomor 3 yang dianggap sudah sempit untuk berlatih kesenian dan diskusi. Mereka mulai mondok di Kramat 106 tahun 1925,” tulis Dr Goelarso, salah satu tokoh Jong Java, dalam buku Peranan Gedung Kramat Raya 106 dalam Melahirkan Sumpah Pemuda (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Kebudayaan, Museum Sumpah Pemuda, Jakarta 2014).

Jong Java awalnya bernama Tri Koro Dharmo yang artinya ’Tiga Tujuan Mulia’. Organisasi pemuda pertama di kalangan masyarakat kota ini dibentuk di Gedung Stovia atas prakarsa Satiman Wirjosandjojo.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com