Berikut laporan pertama yang disajikan dalam 10 seri tulisan.
*****
ANGIN dingin yang menerpa wajah tak lagi kurasakan. Kubiarkan sepeda meluncur kencang meninggalkan puncak Rohtang La langsung menuju Manali yang masih 52 kilometer di depan.
Kota itu akan menjadi titik akhir penjelajahanku di Pegunungan Himalaya yang ada di wilayah India.
Saat menoleh ke belakang, kulihat ujung puncak Rohtang yang berupa celah sempit di antara dua gunung besar berdiri kokoh menuding langit.
Sekali saja setelah itu aku tak pernah lagi menoleh ke belakang. Aku merasa lega. Perjalanan berat yang sudah berlangsung berhari-hari segera berakhir.
Namun di sisi lain, ada perasaan sedih karena harus meninggalkan gunung ini. Rasanya seperti meninggalkan seorang kawan lama.
Sepanjang jalan pikiranku melayang, berusaha mengumpulkan potongan demi potongan peristiwa yang mirip sebuah puzzle.
Namun proses persiapan penjelajahan bersepeda ini sudah terentang sejak setahun lalu.
Gagasan menyusuri jalur yang menghubungkan Srinagar di Negara Bagian Jammu Kashmir hingga Manali di Negara Bagian Himachal Pradesh itu dengan sepeda muncul begitu saja.
Impianku tentang penjelajahan di Atap Dunia sudah lama tersimpan dalam angan. Tersimpan, tapi tidak terkubur selamanya, menunggu saat yang tepat ketika api petualangan itu berkobar.
Dan saat itu tiba saat muncul gagasan untuk menyatukan kesukaanku bersepeda dengan penjelajahan di Himalaya.
Bukan apa-apa, sepeda punya daya jelajah tinggi dan ramah lingkungan, serta relatif lebih menghemat waktu dan biaya.
Memang tantangannya sangat besar karena di Indonesia masih jarang sekali orang bersepeda jarak jauh di gunung tinggi.
Aku berdiskusi dengan Bambang Hertadi Mas yang pernah mencoba sebagian jalur Leh-Manali dan dr Aristi Prajwalita mengenai tindakan medis darurat. Kuungkapkan gagasan ini pertama kali dengan istriku, Skolastika Sandya Esti Rahayu.
Ia diam saja seperti biasanya. Namun dalam diamnya, aku tahu dia mencerna gagasan itu dan mempertimbangkannya dari berbagai sudut.
Beberapa hari kemudian persetujuan itu keluar, dan kumulailah program yang lebih terencana untuk mempersiapkan ekspedisi ini.
Garis besarnya terdiri dari penggalangan dana, latihan fisik, dan rencana operasional. Kujabarkan dalam bentuk proposal sederhana yang terdiri dari beberapa lembar.
Seruan 'Dare to Dream!' dari Martin Luther King Jr (1929-1968) sengaja saya pilih untuk membakar semua hati agar tetap berani bermimpi dan selalu berusaha mewujudkan impian tersebut.
Siapa yang tidak pernah memimpikan Himalaya, sekurangnya sekali saja dalam hidupnya? Atau setidaknya, tetaplah punya "Himalaya" (baca: mimpi) yang membuat hidup lebih berwarna seperti pelangi, kita dipenuhi semangat, dan rasa syukur.
Semula ada beberapa jalur pilihan untuk menjelajah Himalaya. Namun perhatianku tertarik pada jalur melalui Lembah Kashmir di India dengan titik start di kota Srinagar.
Lembah Kashmir yang terletak di ketinggian 1.600 meter itu sangat menarik karena keindahan lanskap dan kekayaan sejarahnya.
Sejak lama menjadi lembah itu menjadi area pertikaian sengit antara sejumlah negara yang memperebutkannya.
Secara de jure, lembah subur yang diapit tiga gunung itu kini masuk wilayah India. Namun klaim atas Kashmir juga dipersoalkan Pakistan dan China.
Dalam buku "Reclaiming the Past?" Vernon Hewitt menyatakan, dalam krisis Kashmir umumnya orang melihat masalah itu dari sejarah kerajaan Dogra yang masuk dalam wilayah India.
Jarang orang melihatnya dari kacamata yang lebih luas semisal dari masalah yang berkaitan dengan Azad Kashmir, wilayah utara Pakistan yang mencakup sebagian dari Lembah Kashmir, termasuk Gilgit dan Baltistan.
Aku tak ingin mencampuri urusan politik kewilayahan itu. Tapi yang jelas Lembah Kashmir sendiri sudah berarti keindahan.
Bahkan Jehangir, salah satu raja pada masa kerajaan Mughal, saking cintanya pada Kashmir, membangun 700 taman di lembah itu.
Mughal Garden di Srinagar adalah salah satu bukti nyata kecintaan Jehangir pada lembah subur seluas 15.948 kilometer persegi itu. (Bersambung...)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.