Saat konflik sosial bernuansa agama di Maluku tahun 1999, daerah yang paling pertama kondusif adalah Kei, yakni tiga bulan pasca konflik.
Sementara daerah lain, seperti Kota Ambon, konflik berlarut-larut hingga 2005. Banyak tokoh Kei pun terlibat dalam upaya perdamaian di Ambon.
"Orang Kei tak pernah melihat saudaranya dari agama apa. Konflik yang merambat hingga ke Kei waktu itu karena dibawa provokator dari luar. Namun, berkat persaudaraan, orang Kei sendiri berhasil mengatasinya,” ujarnya.
Tanamkan sejak dini
Patris meminta semua orang-tua dari kedua komunitas agar selalu mengingatkan sumpah itu kepada generasi muda di desa masing-masing. Ia berharap agar tidak ada lagi perkelahian antarkampung.
Selain menjaga hubungan sesama, warga Kei juga wajib menjaga hubungan baik dengan orang dari suku lain.
Persaudaraan yang kental itu harus diarahkan untuk hal-hal positif sejalan dengan hukum adat Kei, yakni Hukum Larvul Ngabal. Nenek moyang suku Kei telah menyusun isi pokok dari hukum itu.
Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Ambon S Tiwery menilai, Tea Bel yang dikenal suku Kei memiliki kesamaan dengan Pela dalam masyarakat Maluku Tengah. Jika dihayati, masyarakat akan selalu hidup rukun dan damai.
”Tinggal sekarang perlu diperlukan lagi dengan niat yang tulus untuk menjaga kesakralan dari hubungan tersebut. Maluku pasti akan aman untuk selamanya,” katanya. (FRN)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.