Berikut seri ke-5 laporannya yang disajikan dalam 10 tulisan.
*****
DI ujung desa kudapati sebuah youth hostel yang tidak terawat. Tanahnya luas dan bangunan besar, tampaknya dikelola oleh pemerintah daerah setempat.
Penjaganya 5-6 orang Kashmir yang tubuhnya besar-besar mengarahkan aku berikut sepeda masuk ke sebuah kamar di bagian depan.
Padahal aku sebenarnya cuma minta izin berkemah di halaman.
Entah mengapa, perasaanku tak enak saat memasuki bangunan besar yang kosong itu. Lebih tak enak lagi saat seorang penjaga mengamati barang-barang bawaanku dengan mata jelalatan seperti mencari barang berharga.
Di dalam kamar berisi tumpukan kasur kugelar matras dan sleeping bag lalu memasak makan malam berupa nasi, abon, telur, dan sayuran kaleng.
Tapi aku tak kalah gertak. Kubilang hanya ada 200 rupee untuk kamar karena aku bukan turis dan perjalananku masih panjang.
"Kalau tidak mau terima, aku pergi sekarang juga," kataku.
Kami sempat berdebat. Tapi akhirnya dia ambil juga uang yang kutawarkan lalu pergi. Setelah makan, kubereskan semua peralatan dan mengepaknya di atas sepeda. Hanya tersisa sleeping bag dan matras untuk tidur.
Keesokan harinya, pukul 06.30 saat para penjaga itu belum bangun, aku sudah keluar dari hotel dan duduk di atas sadel. Bergerak secepatnya meninggalkan hotel menembus kabut.
Sempat terpikir kalau semalam mereka benar-benar berniat jahat, habislah aku dikeroyok. Tapi rupanya Tuhan tetap melindungi dengan cara yang sering tak terduga.
Jalan langsung menanjak tajam memanjat dinding gunung di sebelah kiri, sementara Sungai Sind mengalir berjeram-jeram di sebelah kanan.
Pada bagian tebing yang menjulang di pinggir jalan, gemuruh sungai itu seperti masuk ke dalam batu, menimbulkan efek akustik yang mengejutkan saat melewatinya.
Tak berapa lama aku melintasi barak militer, markas sebuah batalyon yang berjulukan ‘White Devils’. Mereka menjadikan tebing-tebing batu yang menjulang di kawasan itu sebagai tempat latihan, persis di kawasan Citatah, Kabupaten Bandung.
Belakangan kusadari, di sepanjang jalur Srinagar-Leh ini sebenarnya banyak tempat camping yang menyenangkan, entah di pinggiran sungai atau dataran luas yang terlindung bukit dan dekat dengan sumber air berupa sumur atau danau kecil.
Sayangnya, tempat-tempat asyik buat camping itu kebanyakan sudah dikuasai tentara. Di dekatnya ada kamp atau barak militer sehingga kita tidak bisa sembarangan camping.
Beberapa kali kualami saat hendak mendirikan tenda tiba-tiba tentara yang entah muncul darimana, datang lalu memintaku mencari tempat lain atau ke desa terdekat.
Sepertinya setiap jengkal tanah sudah mereka kuasai. Tapi tidak demikian halnya dengan ruas Leh-Manali. Sekalipun truk tentara lalu lalang, tidak banyak kamp militer di sepanjang jalur itu sehingga bebas merdeka untuk camping di kolong langit!
Seringkali aku berpapasan dengan konvoi truk tentara yang mencapai 20-30 unit sekali jalan. Mereka biasanya memberi salam dan itu menjadi hiburan tersendiri bagiku.
Pendakian ke Zozi La (3.700m) yang berada di lereng Pegunungan The Great Himalayan Range menjadi semacam pintu masuk ke dataran tinggi Tibet di wilayah Ladakh. Nantinya aku kembali melintasi pegunungan ini di Baralacha La (4.950m) pada ruas jalan Leh-Manali.
Saat mendongak ke atas kulihat jalanan mengular di lereng terjal. Truk-truk Tata yang berjalan di atasnya tampak begitu kecil seperti mobil mainan.
Truk-truk di kawasan Himalaya India ini memang kebanyakan merk Tata, buatan dalam negeri India yang terbukti perkasa di gunung.
Chasis pendek dan radius putar yang besar membuat mereka lincah meliuk-liuk di jalanan gunung yang sempit dan berkelok tajam. Mesinnya sangat tangguh dan jarang terlihat ada truk ngadat di jalan.
Saat berpapasan, terlihatlah sosoknya yang besar bagai monster dengan suara bergemuruh lalu meninggalkan kepulan debu.
Mobil-mobil pick up kabin ganda yang juga sering tampak adalah Mohindra dan Bolero, semuanya buatan India dan benar-benar tangguh di gunung.
Perlahan tapi pasti aku terus mendaki. Badanku mulai menyerap suasana kontradiksi yang aneh. Matahari bersinar terik, namun udara dingin ditambah angin yang membekukan.
Aku mengayuh dengan kostum lengkap menutupi tubuh, yaitu atasan sweater berbalut windbreaker dan celana panjang berbahan parasut.
Jari-jari tertutup sarung tangan dan kaki memakai sepatu sepeda. Namun udara dingin terus berhembus, membuat jari-jari kaki dan tanganku mulai kebas dan nyeri. (Bersambung...)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.