Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bersepeda di Kaki Langit Himalaya - 6

Kompas.com - 03/11/2015, 09:24 WIB
Wartawan Warta Kota, Max Agung Pribadi melakukan penjelajahan bersepeda seorang diri ke kawasan Pegunungan Himalaya di India pada 28 September-17 Oktober 2015.

Berikut seri ke-6 laporannya yang disajikan dalam 10 tulisan.

*****

SEMAKIN tinggi aku mendaki, hawa dingin itu semakin menggigit dan aku hanya bisa pasrah menahan sakit. Namun pemandangan indah lembah Sungai Sind dari ketinggian mengobati kelelahan dan rasa sakit yang kualami.

Aklimatisasi atau penyesuaian tubuh dengan ketinggian merupakan kunci utama bergiat di gunung tinggi.

Pada momen ini kudapati, semakin tinggi bersepeda, tarikan nafas semakin berat sehingga putaran kayuhan pedal tidak bisa secepat seperti di tempat rendah.

Putaran kayuhan lebih cepat memicu kerja jantung lebih keras namun oksigen yang miskin di udara tak cukup untuk dipompakan ke seluruh tubuh.

Kalau dipaksakan, nafas bisa “putus”, mata berkunang-kunang lalu pingsan, dan itu sangat berbahaya. Sekali waktu kualami mata berkunang-kunang seperti itu dan cukuplah menjadi pertanda dari tubuh yang tak mau dipaksa.

MAX AGUNG PRIBADI Perjalanan pesepeda Max Agung Pribadi menyusuri Sungai Indus di India.
Aku harus menemukan irama yang harmonis antara putaran kayuhan dan kerja jantung yang dapat dirasakan dari detaknya.

Irama itu adalah satu kayuhan dengan dua tarikan nafas. Begitu seterusnya aku merasa nyaman dan berjalan dengan konstan, meski rasanya lambat seperti siput.

Sudah lewat tengah hari saat aku mencapai Zozi La. Pada musim dingin, kawasan seperti Puncak, Bogor itu menjadi tempat bermain salju bagi turis lokal.

Beberapa pemuda bermobil mencegatku dan meminta foto bareng. Setelah itu aku lanjutkan perjalanan sampai Drass, kota kecil yang disebut sebagai tempat terdingin kedua di dunia yang dihuni manusia setelah Siberia.

Di kota yang terletak di ketinggian 3.050 meter itulah aku berkenalan dengan keluarga Mohamad Ali yang menyenangkan.

Drass

Jalan utama melintas pusat kota Drass berupa kumpulan rumah yang dijadikan warung aneka kebutuhan warga. Kebanyakan berupa warung yang bagian atasnya dijadikan penginapan.

Warung pertama yang kulewati persis di depan kantor polisi. Seorang ibu menyapa ramah dan menawariku mampir. Hari sudah sore, jadi sekalian saja aku menginap di warung milik Ali itu.

MAX AGUNG PRIBADI Keluarga Mohammad Ali yang menyenangkan, pemilik warung tempatku menginap di Drass, India.
Anak tertua Ali bernama Adil berusia 12 tahun pandai berbahasa Inggris. Ia langsung sigap membantuku memasukkan sepeda ke warung dan menurunkan sebagian barang.

Kuajak dia duduk di meja sambil minum teh. Asyik sekali ngobrol dengan Adil yang sekaligus langsung menjadi penerjemah untuk bapak-ibunya.

Keluarga Ali tinggal di Naniten, di Uttarakhan, jauh di sebelah selatan kawasan pegunungan ini. Di sana mereka juga buka warung dan penginapan.

Saat musim panas mereka mengelola warung di Drass dan sepanjang musim dingin mereka kembali ke Naniten.

“Kira-kira dua minggu yang lalu salju pertama sudah turun di kawasan ini. Makanya sekarang kami sudah siap-siap pulang ke Naniten. Kalau sudah musim dingin nanti jalan kemari akan ditutup, salju tebal akan menutup wilayah ini dan mobil tidak akan bisa jalan,” tutur Adil sambil menceritakan betapa lapisan salju begitu tebal di Zozi La dan sering menelan korban kendaraan yang nekat melintas.

Ali adalah lelaki asli Balti, wilayah utara Pakistan di Pegunungan Gilgit dan Baltistan yang sering disebut Azad Kashmir. Sejak lama ia tinggal di Naniten dan menjadi warga negara India.

“Kakek saya orang Pakistan. Banyak saudara juga masih tinggal di Pakistan dan jadi warga negara sana. Tapi saya sejak awal sudah jadi warga India. Memang jarang sekali keluarga besar berkumpul, bisa dihitung dalam setahun hanya berapa kali kami bertemu,” tutur Adil.

MAX AGUNG PRIBADI Thiksey Monastery di India.
Lewat Adil dengan hati-hati kutanya pada Ali mengapa ia tak bergabung dengan keluarga besarnya di Pakistan.

Ali mengatakan, ia sudah hidup lama dan bahagia menjadi warga India. Jadi hal itu juga tidak pernah dipermasalahkan di keluarganya. Soal jarang berkumpul itu sudah jadi konsekuensi yang diterimanya atas pilihan yang diambil.

Cerita Ali itu memberi gambaran nyata tentang warga Kashmir yang terbelah. Dalam buku Kashmir in Conflict, penulis Victoria Schofield mengungkapkan sejarah panjang Kashmir yang rumit dan penuh liku sejak masa kerajaan yang dimulai abad ke-3 masehi hingga jaman modern.

Setelah wilayah Kashmir resmi bergabung dengan India menjadi Negara Bagian Jammu Kashmir pada 1947, banyak warga setempat yang akhirnya harus memilih dan tinggal terpisah dari sanak keluarga.

Mereka harus memilih hendak tinggal dan menjadi warga negara mana, dan urusan ini benar-benar keputusan independen setiap keluarga.  Maka penyatuan itu membuat banyak warga Kashmir terbelah di antara beberapa pilihan.

Adil lalu banyak bertanya tentang Indonesia, tentang Jakarta. Matanya berbinar saat kuceritakan tentang keramaian Ibu Kota yang penuh dengan gedung tinggi dan ada Monas.

“Suatu saat saya akan kesana,” kata anak berperawakan sedang yang bercita-cita menjadi insinyur mesin itu.

Adil dan adiknya memanfaatkan libur musim panas yang berlangsung tiga bulan dengan membantu ayah-ibunya di Drass. Kini mereka bersiap masuk sekolah kembali saat pulang kampung.

Sampai larut malam Ali dan istrinya sibuk melayani para pelanggan yang berkunjung ke warungnya. Mereka baru berhenti dan beranjak tidur menjelang tengah malam.

Pagi harinya saat mentari baru muncul, mereka sudah membuka pintu-pintu warung dan mengeluarkan perangkat memasak.

Bu Ali membuatkan chappati (roti tipis seperti kulit martabak) dan telur dadar besar untuk sarapan. (Bersambung...)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com