Berikut seri ke-7 laporannya yang disajikan dalam 10 tulisan.
*****
SETELAH merapikan semua barang, aku siap berangkat. Ali membangunkan anak-anaknya untuk melepasku pergi. Ah, menyenangkan sekali keluarga kecil itu.
Keluar dari Drass langsung disambut tanjakan panjang dan pemandangan indah Pegunungan Zanskar.
Pegunungan ini juga menjadi salah satu target para penjelajah yang datang ke kawasan ini karena keindahan dan keterpencilannya. Akses ke kawasan ini hanya melalui Kargil atau Darcha di ruas jalan Leh-Manali.
Pada jalur Drass-Kargil aku begitu sering berhenti untuk mengambil gambar karena keindahan lanskap pegunungan yang selama ini mungkin hanya ada di kartu pos atau brosur pariwisata dan khayalan.
Gunung-gunung besar berpuncak salju berpadu dengan langit biru dan sungai jernih yang mengular jauh di dasar lembah.
Sebuah lanskap alam yang keindahannya sulit dilukiskan dengan kata-kata, hasil fenomena tumbukan besar dua lempeng benua.
Gunung, lembah, ngarai, jurang, semuanya dalam ukuran dahsyat besarnya melebihi skala ukur yang bisa kubayangkan, membuatku sering merasa hanya setitik debu di kaki langin Himalaya.
Sepuluh kilometer dari Drass, kusempatkan mampir ke Kargil Memorial War yang ada di pinggir jalan. Monumen itu dibangun militer India setelah kemenangan mereka dalam perang besar dengan Pakistan di wilayah itu tahun 1999.
Sebuah tugu peringatan, ruang pamer, makam prajurit yang gugur, dan pesawat tempur ditata apik di area luas di kaki Bukit Tololing. Di balik bukit sudah masuk wilayah Pakistan yang hanya berjarak enam kilometer saja dari monumen.
Selepas Kargil aku teruskan saja perjalanan. Sasaranku hari itu adalah Mulbekh yang terletak sekitar 82,56 km dari Drass.
Empat buah pisang yang kubeli di Shimsa berhasil mengganjal perut lapar. Hari sudah mulai gelap tapi tak juga ada kampung.
Kuteruskan saja mengayuh sampai pukul 18.00 akhirnya sampai di sebuah kampung bernama Pashkum, sekitar 20 kilometer sebelum Mulbekh.
Badan letih bersaput debu tebal. Aku minta izin berkemah di halaman sebuah rumah. Anak-anak kampung berlarian datang dan menonton aku mendirikan tenda. Tapi tak lama mereka bubar sendiri karena suhu turun sampai 0 derajat Celcius.
Julley!
Pagi hari kulanjutkan perjalanan dengan mendaki ke Namika La (3.700), sebuah gunung batu pasir berwarna coklat yang permukaannya bergelombang.
Bentuknya menyerupai jari-jari raksasa yang menancap di tanah dan disebut-sebut mirip di permukaan bulan. Topografi yang khas seperti ini menyebar sampai kawasan Lamayuru, salah satu kota suci tertua di kawasan Ladakh.
Sekitar tujuh kilometer sebelum Mulbekh, untuk pertama kalinya aku mendengar kata ‘Julley’ yang diucapkan dengan nada riang dan panjang.
Padma (13), seorang murid yang tengah berjalan kaki menuju sekolah itulah yang menyapaku sambil tersenyum lebar.
Seketika aku berhenti dan mengamati kulit wajahnya yang memerah terbakar mentari. Hidung dan garis wajahnya bulat, berbeda dari orang Kashmir yang cenderung mancung dan tirus.
Tak jauh dari pertemuan dengan Padma, kujumpai beberapa perempuan dewasa mengenakan baju mirip sari berumbai-rumbai berwarna kuning, merah, dan coklat.
Corak pakaian warna warni itu seperti menegaskan pergantian kultural yang sedang terjadi dan puncaknya adalah bangunan corten pertama yang kutemui setelah itu.
Corten adalah bangunan mirip stupa yang menjadi tempat pemujaan atau sembahyang orang-orang Buddha Tibetan.
Tak jauh dari situ kutemui juga bangunan yang dihiasi bendera warna warni dengan tulisan Hindi dan gambar kuda terbang.
Bendera doa yang disebut lungta itu dipasang di puncak-puncak tinggi atau bangunan. Ingat tripod almunium yang terpasang di puncak Mt Everest dengan bentangan tali yang digantungi bendera warna-warni?
Orang biasanya memutar roda itu sambil merapalkan doa. Saat roda berputar, secara berkala ia menyentuh sebuah tuas yang membunyikan lonceng kecil di dekatnya.
Sejak saat itu sapaan "julley" amat sering kudengar. Orang-orang Ladakh sepertinya lebih terbuka dalam bertegur sapa.
Seorang bapak yang menggendong anak kecil dan bersama sejumlah anggota keluarga lainnya bahkan mencegatku hanya untuk berfoto dengan meletakkan anaknya di sadel sepedaku.
Setelah beberapa hari sunyi dalam kesendirian dan sering mendapat tatapan penuh curiga, hal ini terasa menyenangkan juga rupanya.
Saat berkemah di samping sebuah corten, tiga kilometer sebelum kota Haniskot, si ibu yang rumahnya ada di dekat corten itu antusias membantu mendirikan tenda sambil berbicara dengan bahasa Inggris terpatah-patah.
Ia memberi tahu di mana harus mengambil air yang layak minum. Tapi karena tempatnya dinilai jauh, ia lalu meminta anaknya mengirimkan satu jeriken besar berisi air ke tendaku. (Bersambung...)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.