Berikut seri ke-8 laporannya yang disajikan dalam 10 tulisan.
*****
SUDAH empat hari aku di perjalanan. Besok aku menghadapi pendakian ke titik tertinggi di jalur Srinagar-Leh, yaitu Fotu La (4.100m). Setelah itu masih sekitar 100 kilometer lagi menuju Leh.
Dengan perhitungan jarak dan kondisi medan, aku tak akan bisa memenuhi target memasuki Leh pada hari kelima.
Kuputuskan tetap mendaki Fotu La dan setelah itu menumpang kendaraan karena hari itu pula aku harus sampai ke Leh. Kalau tidak, maka waktu tempuh untuk hari-hari berikutnya akan semakin berat.
Saat tengah hari aku mencapai puncak Fotu La, hujan salju turun. Salju pertama Himalaya menyambutku. Butiran-butiran kecil seperti kapas beterbangan, mendarat di tubuh dan sepedaku. Dingin sekali, namun terasa menyenangkan.
Setelah mengambil gambar, aku meluncur turun sampai ke Khaltse dan mencegat sebuah truk pengangkut besi.
Sialnya, truk itu ternyata berhenti 20 kilometer sebelum Leh pada pukul 17.30. Kulanjutkan perjalanan saat gelap perlahan turun.
Jalanan mendaki dan baru pukul 20.00 aku memasuki Leh, bertanya sana sini dan akhirnya sampai di penginapan Ree Yul di ujung kota.
Keesokan harinya aku berusaha mengurus izin khusus, namanya Inner Line Permit untuk masuk ke kawasan Lembah Nubra di utara Leh.
Orang asing memang harus mengantongi izin tersebut yang dapat diurus lewat agen perjalanan setempat. Syaratnya cukup menyerahkan paspor dan biaya pengurusannya 600-800 rupee per orang. Setiap agen baru mengurus izin tersebut jika sudah ada sekurangnya dua klien.
Saat itu sudah menjelang musim dingin sehingga tidak banyak turis di Leh dan aku agak kesulitan menemukan agen yang langsung bisa mengurus izin.
Saat menemukannya pada sore hari, lagi-lagi sejumlah orang memperingatkanku agar lebih cepat beranjak ke Manali karena salju sudah memenuhi puncak gunung.
Tiga orang India yang juga bermotor Royal Enfield juga mengatakan hal yang sama.
Akhirnya dengan berat hati kuputuskan untuk langsung bergerak menuju Manali. Karena aku tak punya cukup waktu cadangan jika ada halangan di jalan, entah berupa longsor atau penutupan jalan, maka kubatalkan rencana ke Khardung La (5.359m) dan Danau Pangong, danau air asin tertinggi di dunia yang terhampar di ketinggian 4.250 meter.
Sekalipun agak menyesal di kemudian hari, aku menilai inilah keputusan terbaik saat itu sesuai situasi di lapangan.
Di Leh aku sempat mengisi perbekalan tambahan sebelum berangkat keesokan harinya, menghadapi puncak-puncak tinggi dan bergerak di ketinggian rata-rata di atas 4.200 meter. Sebuah pengalaman tak akan pernah terlupakan.
Selepas padang pasir Trishul yang digunakan satu batalyon tentara untuk latihan terjun payung, aku berjumpa dengan tiga orang pesepeda yang sudah 15 hari bersepeda dari New Delhi dan hendak menuju Srinagar.
Ketiganya adalah pilot Air India yang sedang cuti sebulan karena perusahaannya gonjang ganjing. Mereka dan juga pengelana bermotor atau pesepeda asing yang kutemui sepanjang jalan selalu terkejut dan mengungkapkan apresiasinya saat mengetahui aku dari Indonesia.
Pendakian Taglang La dimulai selepas dusun Rumptse (4.200 meter), sebuah dusun yang terdiri dari beberapa rumah batu kecoklatan dan gompa atau biara di atas gunung batu.
Di dusun itu aku bertemu Albert dan Martha, pasangan asal Israel dan Denmark yang berboncengan sepeda motor Royal Enfield dari Chandigarh menuju Srinagar.
Selanjutnya banyak kutemui pengelana yang bersafari menggunakan motor legendaris asal Inggris tersebut. Motor bermesin 250 dan 500 cc yang kini diproduksi di India itu terlihat tangguh menjelajah jalan pegunungan.
Dekat Zozi La aku sempat bertemu Julia, perempuan muda asal Jerman yang sudah 30 hari keliling India sendirian dengan motor tersebut.
Jalan menanjak landai berkelok mengikuti aliran sungai kecil Tsarap Chu sampai ke kaki lereng terjal.
Namun diluar dugaan, pendakian begitu berat dan lambat betul sepeda besi ini bergerak maju. Sejengkal demi sejengkal sampai-sampai cyclocomputer menunjukkan kecepatan 0 km/jam. Semakin tinggi bergerak, angin semakin dingin, suhu turun terus mendekati titik beku.
Saking dinginnya, saat menarik nafas hidung terasa sakit. Tapi bernafas lewat mulut, giliran tenggorokan yang perih karena kering. Jadi serba salah. Kucoba atasi dengan menghisap permen lozenges dan itu berhasil. (Bersambung...)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.