Sekilo kentang dibeli dari petani 15 rupee dan di kota harganya 20 rupee. Sementara kubis yang dibeli 20 rupee di tingkat petani, harganya di kota mencapai 35 rupee.
Tak semua petani memiliki lahan. Sebagian besar dari mereka hanyalah petani penggarap yang hidup di dekat ladang-ladang. Mereka membangun gubuk dari tenda terpal yang berlapis-lapis di pinggiran lading atau membangun rumah di bawah tebing-tebing batu.
Hasil bumi yang melimpah ruah dari kawasan pegunungan itu seperti tak berbekas di kantong-kantong permukiman kumuh petani penggarap yang kutemui di sepanjang pedesaan, mulai dari Dharca, Jispa, Keylong, Tandi, Sissu sampai ke Koksar.
Suasananya cukup kontras dengan rumah-rumah peristirahatan dan penginapan megah milik sebagian warga desa atau mungkin juga orang kota.
Dari Koksar, jalan berupa tanah dan bebatuan langsung mendaki terjal. Kabut debu meruap di udara setiap kali kendaraan melintas.
Angin kencang dari depan terus memberatkan kayuhan. Angin itu menerbangkan debu dan pasir kuarsa halus yang gemertak bunyinya saat menabrak windbreaker yang kukenakan.
Sekali waktu angin kencang tiba-tiba berembus dari depan. Aku tak sempat menahan handlebar yang terputar keras ke dalam. Brukkk! Sepeda jatuh begitu saja aku mencium tanah di pinggiran kiri jalan yang bertepi jurang dalam.