Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bersepeda di Kaki Langit Himalaya - 10

Kompas.com - 07/11/2015, 09:21 WIB
Wartawan Warta Kota, Max Agung Pribadi melakukan penjelajahan bersepeda seorang diri ke kawasan Pegunungan Himalaya di India pada 28 September-17 Oktober 2015.

Berikut seri ke-10 laporannya yang merupakan tulisan terakhir.

*****

TURUN dari Lachulung La, kusempatkan makan di warung tenda di Whiskey Nala. Kulihat awan hitam terlihat bergerak memayungi puncak. Angin bertiup kencang dari atas membawa uap air.

Sempat khawatir badai akan datang tapi setelah makan aku putuskan untuk terus mendaki. Aku tidak bisa menunggu terlalu lama. Kubungkus rapat semua barang dan menyiapkan rain coat untuk bermain-main dengan badai.

Sambil jalan aku berbisik, ”Nakee La, tolong izinkan aku lewat, sekali ini saja.”

Aku terus merayap sampai akhirnya mencapai puncak Nakee La. Awan mendung yang tadi memayungi puncak ternyata sudah bergerak ke arah punggung gunung tinggi di sebelah timur. Lega sekali rasanya.

Sesudah menggapai puncak-puncak di atas 4.000 meter, aku benar-benar lega meski masih ada satu puncak lagi sebelum turun ke Manali, yaitu Rohtang La (3.950m).

MAX AGUNG PRIBADI Koksar, desa terakhir sebelum pendakian ke Rohtang La (3.950m). Desa ini juga menjadi tempat perhentian turis yang melintas di kawasan ini.
Kususuri jalan melipir lereng menyusuri Sungai Bhaga sampai di Koksar. Dataran di pinggir sungai mulai dari Jispa sampai Koksar dijadikan lahan pertanian kentang dan kubis.

Menurut Neeraj Sharma, petani yang kutemui dekat Koksar, kentang kualitas terbaik dari kawasan itu dijual ke kota-kota besar seperti Manali, Delhi, Gujarat, Punjab, dan Chandigarh.

Sekilo kentang dibeli dari petani 15 rupee dan di kota harganya 20 rupee. Sementara kubis yang dibeli 20 rupee di tingkat petani, harganya di kota mencapai 35 rupee.

Tak semua petani memiliki lahan. Sebagian besar dari mereka hanyalah petani penggarap yang hidup di dekat ladang-ladang. Mereka membangun gubuk dari tenda terpal yang berlapis-lapis di pinggiran lading atau membangun rumah di bawah tebing-tebing batu.

Hasil bumi yang melimpah ruah dari kawasan pegunungan itu seperti tak berbekas di kantong-kantong permukiman kumuh petani penggarap yang kutemui di sepanjang pedesaan, mulai dari Dharca, Jispa, Keylong, Tandi, Sissu sampai ke Koksar.

Suasananya cukup kontras dengan rumah-rumah peristirahatan dan penginapan megah milik sebagian warga desa atau mungkin juga orang kota.

Dari Koksar, jalan berupa tanah dan bebatuan langsung mendaki terjal. Kabut debu meruap di udara setiap kali kendaraan melintas.

Angin kencang dari depan terus memberatkan kayuhan. Angin itu menerbangkan debu dan pasir kuarsa halus  yang gemertak bunyinya saat menabrak windbreaker yang kukenakan.

MAX AGUNG PRIBADI Buka tenda di puncak Rohtang La.
Sekali waktu angin kencang tiba-tiba berembus dari depan. Aku tak sempat menahan handlebar yang terputar keras ke dalam. Brukkk! Sepeda jatuh begitu saja aku mencium tanah di pinggiran kiri jalan yang bertepi jurang dalam.

Setelah  bangun, kulanjutkan berjalan di sisi kanan menempel tebing. Ngeri kalau sampai tersapu angin jatuh ke jurang!

Rohtang La seperti tak ingin kucapai dengan mudah. Sepanjang hari angin haluan bertiup kencang. Aku harus memakai kacamata dan penutup muka supaya tidak kelilipan atau makan pasir.

Saat mencapai puncak, matahari sudah hampir terbenam dan cepat-cepat kudirikan tenda.

Badan terasa sangat letih. Kusiapkan makan malam berupa nasi, daging kaleng, teri kacang, dan buah tomat. Angin masih terus berhembus kencang menderak-derakkan tenda.

Rupanya puncak Rohtang La berupa celah di antara dua gunung besar sehingga menjadi semacam lorong angin memanjang mirip Alun-alun Suryakencana di Gunung Gede. Pantas saja angin dari dua arah bertiup kencang ke badan gunung.

Tengah malam aku terbangun dan muntah-muntah. Perut rasanya tak karuan dan kepala sedikit pening. Ah, apakah gejala acute mountain sickness (AMS)? Mengapa baru sekarang? Sedangkan hari-hari sebelumnya kondisi badanku sangat fit dan aklimatisasi berjalan sesuai rencana.

MAX AGUNG PRIBADI Keindahan Himalaya menjelang musim dingin ketika dedaunan menguning sebelum luruh ke tanah.
Setelah minum obat, sakit perut dan mual berangsur reda. Baru pukul 03.00 aku bisa tertidur pulas dan pukul 08.00 selesai beres-beres dan beranjak turun ke Manali.

Di sisi sebaliknya puncak Rohtang La ternyata ada kuil kuno yang disebut Beas Temple. Bangunannya serupa igloo dan di dalamnya terdapat sebuah kolam jernih yang ditaburi bunga.

Ruangannya yang teduh wangi oleh bunga-bunga itu dan asap hio, tapi tak terlihat ada orang di sana. Suasananya aneh.

Di sekitar kuil itu terdapat fasilitas MCK dan tempat sampah, yang menandakan bahwa tempat itu memang disiapkan sebagai areal camping. Ada sungai kecil yang mengalir dari arah kuil.

Tak berlama-lama, kulanjutkan perjalanan turun. Kusempatkan mampir di kebun apel yang sedang dipanen satu keluarga di Koti, 10 kilometer sebelum masuk Manali.

Kota kecil ini seperti dibangun di atas taman alam guguran daun pohon chennay  menguning dan deretan cemara hijau yang sebentar lagi memutih tertutup salju menyambutku di Manali, mengakhiri penjelajahan di Himalaya.

Sebuah penjelajahan yang membebaskanku dari rasa takut untuk menembus batas, untuk tetap punya mimpi dan berkarya mewujudkannya. (Selesai)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com