Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nikmatnya Teh Sederhana di Puncak Petra

Kompas.com - 08/11/2015, 17:30 WIB
KE Jordania, wajib ke Petra. Itu pesan sejumlah teman yang pernah atau yang bercita-cita ingin ke Petra, suatu ketika.

Petra menjadi salah satu tujuan yang berada di urutan atas jika orang pergi ke Jordania. Yang lain mungkin Laut Mati, yang merupakan satu-satunya laut dengan kadar garam 34 persen, atau sekitar 10 kali lebih asin daripada rata-rata air laut, yang diyakini berkhasiat bagus untuk kulit.

Atau kota peninggalan di Jerash (48 kilometer dari Amman), yang lainnya mungkin berkemah di gurun dan menikmati pemandangan bawah laut bagi yang suka menyelam.

Kami sangat antusias untuk mendatangi salah satu tempat yang pernah dinobatkan sebagai Tujuh Keajaiban Dunia Baru (The New Seven Wonders of the World) dan juga dianggap sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO.

Mohammad, pemandu kami, mewanti-wanti agar kami mengenakan alas kaki yang nyaman. ”Saya hanya akan mengantar sebatas makan siang, selebihnya terserah. Anda bisa naik hingga biara, tinggal mengikuti melewati 900 anak tangga,” ujar Mohammad, yang mengaku selama menjadi pemandu baru dua kali ke atas.

Terus terang hati agak berdebar untuk memutuskan apakah akan naik atau menunggu di bawah. Petra yang luas dengan kekayaan historisnya sebenarnya tak cukup dieksplorasi hanya dalam waktu lima-enam jam.

Total panjang jalan dari tempat tiket hingga ke ujung wihara, pergi-pulang, sekitar 17 kilometer. Mulai dari pintu masuk hingga gerbang Romawi sepanjang 1,25 kilometer sarat dengan sejarah yang sangat menarik.

Ada soal tingginya peradaban masa lalu ketika bicara tentang sistem pengairan, ada keindahan seni potong tebing, berbaur dengan keagungan alam yang mengitari Petra.

Makin masuk lagi, terdapat peninggalan yang konon didirikan pada 312 Sebelum Masehi, seperti teater Romawi, makam kerajaan, tempat pemujaan, serta terowongan-terowongan.

Cuaca panas, 35 derajat-36 derajat celsius pada September itu relatif tak terlalu menyiksa bagi kami yang memang sehari-hari sudah terbiasa dengan suhu sekitar itu. Terlebih kami sudah membekali diri dengan penutup kepala.

Namun, campuran antara udara panas dan jalan kaki berkilo-kilometer akhirnya menghasilkan keringat yang lumayan banyak. Makan siang di restoran di area Petra benar-benar memberi angin sejuk dalam arti sebenar-benarnya.

Ruang berpendingin membuat kami makan siang dengan lahap. Apalagi ada nasi putih polos, yang agak selalu menjadi idaman jika kita bepergian ke luar negeri.

Pemandu kembali mengingatkan opsi untuk berjalan naik. Empat orang dari kelompok kami sepakat mencoba. Satu orang yang ragu disemangati oleh yang lain sampai akhirnya terpengaruh ikut.

Dan ternyata kawan yang semula ragu naik paling cepat dibandingkan dengan yang lain. ”Dia memang biasa olahraga di tempat kebugaran,” kata temannya sesama warga Malaysia.

Kalau tidak penasaran, mungkin enggan juga naik 900 anak tangga. Kami berlima tidak lagi beriringan. Dua pemuda setempat menguntit menawarkan keledai untuk ditunggangi.

”Percayalah, masih jauh,” kata mereka berulang-ulang.

Ide naik keledai atau kuda rasanya bukan sesuatu yang menarik ketika kita naik ke atas batu-batu yang kadang sempit dan terjal. Bukannya naik kuda malah membuat tegang, takut jatuh?

Rasanya cukup lega ketika akhirnya kami sampai di tempat yang disebut biara, yaitu sebuah pahatan bangunan mirip gerbang.

Tak jauh dari sini terlihat tulisan best view. Ada apa gerangan? ”Berharga untuk didatangi, hanya jalannya harus hati-hati, agak licin,” kata sepasang turis Jerman.

KOMPAS/RETNO BINTARTI Ahed dan Mohammed, dua saudara sepupu ini, sehari-hari berjualan aksesori dan teh di pondoknya di puncak Petra, Jordania.
Berdua dengan seorang rekan asal Malaysia, saya pun bersemangat naik. Dari atas kami bisa melihat negara tetangga. Namun, udara tak cukup cerah, menghalangi pandangan.

Apa boleh buat. Untuk menghibur hati, kami mampir di sebuah pondok, satu-satunya pondok yang ada di situ.

Seorang pria berambut gondrong dengan mata bercelak mempersilakan masuk seraya menawarkan teh panas. ”Sedinar saja,” katanya. Satu dinar hampir setara dengan euro, atau saat itu sekitar Rp 17.000.

Jam menunjukkan pukul 15.30. Sambil menyeruput teh manis panas dari gelas mungil, kami bertukar cerita. Tentu kami dari media lebih banyak mendengar dan bertanya.

Ahed, pria itu, dengan bahasa Inggris yang cukup baik sempat memperlihatkan celak mata yang digunakannya. ”Ini bagus karena asli, tidak terhapus selama tiga hari,” katanya sambil memperlihatkan bubuk berwarna hitam tersebut.

Menurut dia, celak mata dari tumbuhan itu bagus buat menjernihkan mata. ”Tapi, saat memakai pertama kali pedas rasanya,” ungkap Ahed.

Semilir angin dan suasana sunyi membuat kami tak ingin buru-buru pergi. Sepupu Ahed yang bernama Muhammed menawarkan mengisi lagi gelas yang sudah kosong.

Ahed menahan kami untuk menunggu matahari terbenam. ”Akan kelihatan indah sekali dari sini,” katanya.

Tentu tawaran ini tidak kami sambut karena sudah membayangkan waktu yang harus ditempuh untuk kembali nanti. ”Mungkin lain waktu,” kata kami. Ahed sempat meminta alamat Facebook dan minta dikirim hasil foto kami di pondoknya. (RETNO BINTARTI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com