Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ada Feng Shui hingga Kisah Perjanjian Lama di Keraton Kasepuhan

Kompas.com - 22/12/2015, 16:22 WIB
Ervan Hardoko

Penulis

CIREBON, KOMPAS.com – Suara adzan dari Masjid Sang Cipta Rasa sudah berkumandang mengundang umat Muslim menjalankan ibadah shalat Jumat.

Satu persatu pengunjung Keraton Kasepuhan, Cirebon, termasuk rombongan yang diikuti KompasTravel, beranjak menuju ke arah masjid.

Saat kami melangkah melintasi salah satu gerbang Keraton Kasepuhan seorang abdi dalem yang juga pemandu wisata tiba-tiba mengatakan sesuatu.

“Dari gerbang ini sampai ke luar ada Feng Shui-nya lho,” kata Mohammad Maskun, sang abdi dalem.

Feng Shui adalah ilmu topografi kuno China yang percaya bahwa manusia, bumi, dan surga hidup dalam harmoni untuk mendapatkan kebaikan.

“Jika dilihat, dari gerbang ini sampai ke gerbang luar jalannya nggak lurus. Maksudnya, agar rezeki yang datang ke keraton tidak bablas,” papar Maskun sambil tertawa.

Ada kebudayaan China di Keraton Kasepuhan yang adalah sebuah kesultanan Islam? Apakah saya tidak salah dengar?

Ternyata saya tidak salah dengar. Sebab Keraton Kasepuhan ini ternyata kaya dengan akulturasi budaya Islam, Hindu, China dan bahkan Eropa.

Posisi Cirebon yang merupakan sebuah pelabuhan, membuat berbagai budaya mudah masuk seiring kedatangan para saudagar dari berbagai penjuru.

Kereta kencana

Ervan Hardoko/Kompas.com Kereta Singa Barong ini dibuat pada 1549 oleh Panembahan Losari dan digunakan semua Sultan Cirebon sejak Sunan Gunung Jati. Di dalam desain kereta kencana ini terdapat akulturasi budaya Islam, Hindu dan China.
Salah satu bukti akulturasi ada pada kereta kerajaan yaitu Kereta Singa Barong yang dibuat Panembahan Losari pada 1549.

“Kereta ini digunakan dalam acara-acara kerajaan sejak Sunan Gunung Jati. Tapi di kereta ini Sultan tidak didampingi ratu, karena ratu menggunakan kereta tersendiri,” kata Sugiono, seorang abdi dalem.

Kereta yang ditarik empat ekor kerbau albino itu, lanjut Sugiono, memperlihatkan dengan jelas percampuran berbagai budaya.

“Di bagian kepala ada penampakan belalai liman atau gajah. Ini menunjukkan persahabatan Cirebon dan India yang Hindu,” lanjut Sugiono.

Lalu di bagian depan kereta itu terlihat kepala naga atau liong yang mewakili hubungan antara China dan Cirebon.

“Ini juga menunjukkan bahwa salah satu istri Sunan Kalijaga berasal dari China, yaitu Ong Tien Nio alias Rara Sumanding,” tambah Sugiono.

Sementara di sisi kiri dan kanan kereta terlihat sepasang sayap, yang jika kereta itu bergerak maka kedua sayap itu akan mengepak.

“Sayap ini adalah sayap paksi atau bouraq menunjukkan hubungan dengan Mesir yang Islam. Ayah Sunan Gunung Jati adalah raja Mesir, Syarif Abdullah,” papar sang abdi dalem.

Kereta ini terakhir kali digunakan pada 1942 di masa pemerintahan Sultan Sepuh X karena  Kesultanan Cirebon memutuskan untuk melebur dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Perjanjian Lama          

Ervan Hardoko/Kompas.com Keramik-keramik berwarna cokelat ini dibawa ke keraton Kasepuhan, Cirebon pada sekitar 1745. Keramik-keramik yang berisi cerita para nabi dalam Kitab Perjanjian Lama dipasang sebagai hiasan di salah satu sudut keraton. Keberadaan keramik-keramik ini semakin membuktikan bahwa keraton menjadi pusat percampuran berbagai budaya.
Tak hanya tiga budaya itu yang bercampur di Kesultanan Cirebon. Setelah Belanda masuk ke Indonesia, budaya Eropa juga mulai mewarnai.

“Budaya Eropa yang terlihat misalnya di pilar-pilar di beberapa bangunan Keraton Kasepuhan,” ujar Sugiono.

Bahkan, lanjut Sugiono, di beberapa bagian dinding keraton terdapat keramik-keramik yang dibawa Belanda pada sekitar 1745.

Keramik-keramik itu menggambarkan kisah-kisah para nabi yang tercantum di kitab Perjanjian Lama. Hal yang menarik ini langsung KompasTravel tanyakan kepada Sultan Sepuh XIV, raja Keraton Kasepuhan saat ini.

“Benar. Keramik-keramik itu masih ada dan dipasang di salah satu dinding keraton,” ujar Sultan Sepuh.

Lalu, apa arti perpaduan berbagai budaya di lingkungan keraton bagi sang Sultan?

“Ini menggambarkan keterbukaan dan toleransi. Bahkan hingga kini kami masih memelihara tali silaturahim dengan semua pemuka agama yang ada di Cirebon.

Sayangnya, pihak keraton tidak bisa menjelaskan pembawa keramik-keramik itu ke Keraton Kasepuhan dan fungsi awalnya.

“Mungkin keramik-keramik itu dibawa untuk diserahkan sebagai cendera mata untuk Sultan,” ujar seorang  abdi dalem.

Keraton Kasepuhan adalah satu dari empat keraton yang ada di Kota Cirebon. Namun, keraton inilah yang paling besar dan paling terawat.

Kurang terawat

Ervan Hardoko/Kompas.com Salah satu gerbang Keraton Kasepuhan, Cirebon yang menuju ke kawasan di luar tembok keraton. Menurut para pemandu wisata dan abdi dalem pembangunan beberapa gerbang keraton ini menggunakan dasar-dasar kebudayaan Feng Shui.
Meski diakui sebagai keraton terbesar di Cirebon dan pantai utara Jawa sekaligus salah satu obyek wisata paling banyak dikunjungi, namun kondisi Keraton Kasepuhan kurang terawat.

Tepat di luar tembok keraton, lebih tepatnya di depan Siti Hinggil, melintas sebuah sungai kecil. Sayangnya, sungai kecil itu kotor dan tak terawat.

Sementara itu, kehadiran pasar kaget tahunan selama satu bulan setiap hari raya Maulid Nabi Muhammad, menyisakan sampah di mana-mana.

Sedangkan di sekitar masjid Sang Cipta Rasa, para pengemis banyak berkerumun di pintu-pintu masjid tersebut.

Kondisi ini dibenarkan sejarawan lokal Cirebon, Mustaqim Asteja. Dia mengatakan, kurang terawatnya keraton adalah dampak dari minimnya anggaran dari Pemkot Cirebon.

"Di Cirebon ada empat keraton besar yang termasuk dalam 50 kawasan cagar budaya yang ditetapkan pemerintah," ujar Mustaqim.

Sayangnya, lanjut Mustaqim, tak ada dinas khusus yang bertanggung jawab atas cagar-cagar budaya ini.

"Instansi yang mengurus adalah dinas pariwisata, kebudayaan, olahraga dan kepemudaan. Jadi fokus dinas ini terlalu banyak sehingga anggaran yang ada dibagi dalam jumlah yang tak memadai," tambah Mustaqim.

Meski demikian, lanjut Mustaqim, kondisi Keraton Kasepuhan masih jauh lebih baik dibanding keraton-keraton lainnya di Cirebon.

"Kalau Keraton Kanoman kondisinya jauh lebih buruk dan kumuh. Keraton itu tak terlihat dari jalan raya karena berada di belakang sebuah pasar," kata Mustaqim.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com