Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pulau Lancang, Mencoba Bersolek Menyambut Wisatawan

Kompas.com - 31/12/2015, 11:42 WIB

MESKI namanya tak sepopuler pulau-pulau lain yang sudah menjadi destinasi wisata rutin di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, Pulau Lancang tak mau kalah dalam menggeliatkan pariwisata. Pulau yang berjarak sekitar 11 kilometer dari pesisir utara Pulau Jawa di Kabupaten Tangerang ini pun mulai berbenah menyambut wisatawan.

Pulau ini secara administratif berada di Kelurahan Pulau Pari, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Luas Pulau Lancang sekitar 15 hektar dengan penduduk sekitar 1.500 orang. Pulau ini menjadi pusat Kelurahan Pulau Pari pada 2001.

Pulau Lancang memiliki berbagai pesona dan potensi yang bisa dikembangkan untuk menarik para wisatawan. Selain memancing atau menikmati panorama laut dan kesibukan dermaga, jalan-jalan di permukiman juga menyenangkan.

Saat Kompas menjelajah pulau tersebut, pertengahan Oktober lalu, terlihat mulai ada upaya pemerintah dan masyarakat setempat untuk meningkatkan kenyamanan di pulau itu bagi para pengunjung.

Jalan-jalan utama pulau sudah cukup lebar dan menggunakan batu blok. Gang-gangnya juga lumayan dengan lebar minimal 1 meter.

Warga dan pemerintah setempat juga menghijaukan pulau dengan menanam pohon buah dan tanaman hias. Pohon buahnya, selain sukun, terlihat juga pohon mangga, jeruk bali, jambu air, avokad, belimbing, sawo, sirsak, delima, dan nangka.

KOMPAS/AGUS SUSANTO Pekerja menurunkan sepeda motor dari atas KM Rajawali Express di Dermaga Pulau Lancang Besar, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, Sabtu (17/10/2015). Sepeda motor yang dibawa dari Dermaga Cituis, Pakuhaji, Tangerang, Banten, tersebut dikenai biaya Rp 20.000.
Saat itu, pohon-pohon sawo, jeruk bali, delima, dan jambu air tengah berbuah lebat. Apabila pohon-pohon buah ini ditangani secara serius dan terpadu, sebenarnya bisa menjadi daya tarik yang tak dimiliki pulau-pulau lain di Kepulauan Seribu. Bahkan, bisa menjadi komoditas perdagangan yang bisa dijual ke luar pulau.

Seperti diketahui, sebagian besar pulau-pulau berpenghuni tradisional di Kepulauan Seribu saat ini menghadapi masalah akut keterbatasan lahan dan kepadatan penduduk. Jangankan lahan untuk menanam pohon buah, lahan untuk membangun rumah pun harus dibuat dengan mereklamasi kawasan pantai.

Panorama alamnya pun menawarkan pesona tersendiri. Dari teras rumah tempat Kompas menginap, terbentang pemandangan laut lepas dan kesibukan kapal keluar-masuk pelabuhan pulau tersebut.

Dari tanggul beton pencegah ombak di dekat pantai, kita bisa menikmati suasana terang matahari pagi dan temaram saat matahari tenggelam sambil memancing ikan. Dari sini juga terlihat jelas Pulau Lancang Kecil, sebuah pulau pribadi, yang tengah berbenah untuk menjadi pulau resor wisata.

Menelisik aktivitas masyarakatnya, di Lancang juga ada bengkel pembuatan atau renovasi kapal. Terlihat sebuah kapal yang tengah dalam penyelesaian pembuatan.

Ada juga rumah-rumah pengelolaan atau perebusan teri dan rajungan. Yang terakhir ini menjadi tumpuan pergerakan ekonomi masyarakat setempat yang rata-rata nelayan.

KOMPAS/AGUS SUSANTO Wisatawan memancing ikan di Dermaga Pulau Lancang, Kepulauan Seribu, Sabtu (17/10/2015). Pemancing dari luar daerah, terutama Jakarta, Bekasi, dan Tangerang, banyak ditemui pada akhir pekan atau masa liburan.
”Banyak yang datang ke pulau ini untuk memancing. Minimal semalam menginap di pulau, datang Sabtu pulang Minggu. Tetapi, penginapan di sini masih seadanya. Rumah saya juga bisa disewa untuk pengunjung yang mau bermalam di pulau, tetapi fasilitanya, ya, seadanya,” kata Sumiarti, pemilik warung makan, tidak jauh dari dermaga utama pulau.

Banyak keterbatasan

Apa yang dikatakan Sumiarti ini memang benar. Masih banyak keterbatasan di pulau ini dalam soal menyambut wisatawan.

Mencari penginapan, misalnya, tidak semudah seperti di pulau-pulau lain. Hari menjelang siang ketika kami memasuki permukiman masyarakat Pulau Lancang saat itu. Karena berencana menginap semalam, fokus kami pun mencari penginapan.

Ternyata, beberapa penginapan yang kami datangi tidak siap menerima tamu meski di antaranya ada wisma sewaan milik kelurahan setempat.

Walau beberapa warga dengan ramah mempersilakan rombongan Kompas mampir, mereka lebih memperlakukan kami sebagai tamu pribadi mereka.

Setelah hampir dua jam mencari sejak tiba di pulau ini, kami baru menemukan sebuah rumah yang disewakan untuk wisatawan yang ingin bermalam di Lancang.

Ketidaksiapan Lancang menerima wisatawan tergambar dari kondisi penginapan tersebut. Walaupun rumah penginapan ini bangunan bagus, kunci pintu dan jendela serta alat pengatur suhu udara tak berfungsi dengan baik.

Fatoni, seorang pegawai Kelurahan Pulau Pari, mengakui, kesadaran masyarakat untuk menjaga pulau ini selalu bersih dan sehat masih kurang. Ini bisa menghambat percepatan Pulau Lancang menjadi destinasi wisata pilihan.

Menurut dia, ketika pemerintah melakukan pembenahan rumah perebusan teri beberapa waktu lalu, warga malah memprotes karena pembenahan itu dinilai menghambat aktivitas kerja mereka.

Mengitari pulau, memang terlihat masih banyak sampah di dermaga atau lokasi-lokasi reklamasi lahan yang tak diangkut atau dirapikan dengan baik. Juga masih ada jamban warga yang hulu pembuangannya ke laut atau dermaga nelayan.

Kesadaran atau dana untuk memelihara lokasi atau titik wisata yang sudah ada, seperti kolam pemancingan dan hutan mangrove Jembatan Pelangi, juga terlihat sangat kurang.

Padahal, lokasi itu sudah ditata dengan baik dan hutan mangrovenya bagus. Andai kondisinya baik dan nyaman, pasti wisatawan betah berlama-lama di sana.

Teri dan rajungan

Hingga saat ini, kehidupan masyarakat di Pulau Lancang masih berpusat pada kegiatan nelayan, terutama penangkapan serta pengolahan ikan teri dan rajungan.

Jihan (32) adalah salah seorang pengepul ikan yang memiliki belasan anak buah untuk mengoperasikan rumah perebusan teri dan rajungan di Lancang. Ada belasan kapal nelayan yang menjadi mitranya yang diberi modal awal untuk melaut.

”Kalau kita tidak modali dulu, tak ada kewajiban mereka menjual hasil tangkapannya kepada kita. Susah juga saya kalau tidak pasti dapat ikan. Sebab, saya juga punya bos lagi di daratan yang menampung ikan yang harus saya suplai,” kata Jihan.

Hal serupa disampaikan Koh Ahok, warga Tangerang yang juga menjadi pengepul ikan di Lancang. Selain mempunyai mitra kapal-kapal nelayan, ia juga memiliki kapal jaring apung yang diawaki lima nelayan.

Menurut Ahok, untuk mengoptimalkan hasil tangkapan, nelayan perlu punya kapal yang cukup besar seperti kapal miliknya. Bahkan, dengan kapal miliknya itu pun, Ahok mengakui mempertahankan bisnis ini cukup sulit.

”Kalau tidak paham benar dengan bisnis ikan dan karakter nelayan di sini, jangan masuk, deh. Enggak sampai setahun, bisa buntung total kita. Saya saja (pernah) babak belur,” tutur Ahok.

Menurut Ahok, kehidupan masyarakat Pulau Lancang masih sangat bergantung pada hasil tangkapan mereka di laut.

KOMPAS/AGUS SUSANTO Pemandangan dari Dermaga Pulau Lancang, Kepulauan Seribu, Sabtu (17/10/2015). Perairan yang masih cukup bersih membuat berbagai jenis ikan cukup mudah ditemukan sehingga menarik minat wisatawan, khususnya mereka yang hobi memancing.

Kayu kelancang

Fatoni mengatakan, nama Lancang berasal dari sebuah kisah legenda yang diceritakan turun-temurun. Menurut legenda itu, dulu ada seorang tua bernama Uwak Arus yang bersama istrinya berkebun dan menjual kayu bakar ke daratan.

Suatu hari kakek-nenek itu menebang kayu di pulau ini dan membawanya dengan perahu ke daratan untuk dijual. Sepanjang perjalanan dari pulau ini, ikan-ikan mengikuti dan berloncatan masuk ke perahunya. Akibatnya, perahu kelebihan muatan dan akan tenggelam.

Uwak Arus lalu membuang muatannya satu demi satu. Meski muatan sudah banyak terbuang, ikan terus mengikuti dan berlompatan masuk perahu. Akhirnya, ada satu kayu, yaitu kayu kelancang, yang dibuang. Setelah kayu itu dibuang, tidak ada lagi ikan yang mengikuti dan berlompatan masuk perahu.

”Dari nama kayu kelancang itu akhirnya pulau ini dinamakan Kelancang, tetapi mungkin karena susah menyebutnya, kelancang lama-lama jadi lancang. Tetapi, sampai saat ini saya sendiri tidak tahu seperti apa pohon kelancang itu,” tutur Fatoni. (RATIH PRAHESTI S dan PINGKAN ELITA DUNDU)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com