Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Popularitas, Ancaman Nyata Gunung Padang

Kompas.com - 05/01/2016, 18:15 WIB
TAHUN lalu popularitas Situs Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat, tiba-tiba melonjak. Kabar penemuan koin, semen purba, batu bulat rolling stone, dan ”kujang” Gunung Padang berhasil mengangkat situs itu ke panggung diskursus nasional.

Karena itulah, pertengahan tahun lalu kunjungan wisatawan ke Gunung Padang tiba-tiba membeludak. Tak tanggung-tanggung, dalam seminggu, sekitar 58.000 orang mengunjungi situs itu.

Mereka berwisata sembari membawa bekal makanan untuk disantap di atas bukit yang dipenuhi batuan-batuan berserakan itu. Di satu sisi, pariwisata tumbuh, tetapi di sisi lain kelestarian cagar budaya itu makin terancam oleh ribuan kaki manusia yang setiap hari menapaki bukit gundul Gunung Padang.

Lonjakan kunjungan terjadi ketika Gunung Padang tengah diekskavasi. Selama 23 hari, Tim Terpadu Riset Mandiri (TTRM) Gunung Padang berusaha memverifikasi keberadaan struktur punden berundak di situs itu. Mereka menggali dan mengebor di teras dua dan lima serta penggalian di bagian lereng bukit sebelah barat dan timur.

Menurut Ketua Arkeologi TTRM Gunung Padang Ali Akbar, konstruksi Gunung Padang mirip seperti Machu Picchu di Peru. Di setiap meter, ada jeda lapisan tanah dan setelah digali ada struktur batu lagi di bawahnya.

”Kami menggunakan data pengeboran, georadar, dan geolistrik dalam penelitian. Hal seperti ini tidak pernah dilakukan para arkeolog di Indonesia yang setia dengan teknik-teknik penggalian konvensional,” kata Ali Akbar akhir tahun lalu.

KOMPAS/NINUK MARDIANA PAMBUDY Batuan yang tersusun rapi seperti membentuk pagar menandakan ada campur tangan manusia menata batu-batu bentukan alam itu. Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat, lebih mirip sebagai tempat melakukan ritual pemujaan daripada permukiman.
Dalam penelitian, TTRM melibatkan ahli dari berbagai disiplin ilmu untuk menggabungkan data pengeboran, geo-radar, dan geo-listrik dalam penelitian. Setelah menggali dan mengebor, mereka menemukan beberapa artefak, seperti koin logam, semen purba, batu bulat (rolling stone), dan batuan berbentuk seperti sekop yang kemudian disebut ”kujang” Gunung Padang.

”Pemerhati memberi informasi, koin itu buatan 1855, tapi kok bisa berada di kedalaman 11 meter yang penanggalan karbonnya berusia 5.200 SM,” ujarnya.

Menanggapi temuan itu, geolog Sujatmiko mengatakan, semua batuan di Gunung Padang ialah batuan alamiah. ”Batuan rolling stone yang di dalamnya terdapat batu ada di mana-mana. Itu sangat umum. Jadi, janganlah temuan seperti ini langsung diumumkan kepada publik. Apa yang disebut semen purba itu hanyalah bijih besi dengan kandungan besi 40 persen. Kadar besi semen sendiri maksimal 6 persen,” kata Miko.

Arkeolog prasejarah Pusat Arkeologi Nasional, Bagyo Prasetyo, memperkirakan, koin yang ditemukan di Gunung Padang bukanlah benda tua karena teknologi logam baru muncul sesudah Masehi. ”Tidak bisa disimpulkan begitu saja bahwa koin logam Gunung Padang berasal dari masa 5.200 SM. Arkeologi tidak bisa hidup tanpa konteks,” katanya.

Pelestarian

Di tengah kontroversi tentang Gunung Padang, Ketua Ikatan Asosiasi Arkeolog Indonesia (IAAI) Junus Satrio Atmodjo memandang, berbagai macam paradigma perlu ditempatkan dalam konsep pelestarian lebih luas.

”Pertama, kita mesti menjaga agar Gunung Padang bisa dinikmati ribuan tahun lagi. Selain itu, masyarakat setempat jangan sampai tercerabut dari akar budayanya,” katanya.

Karena tidak paham, sebagian masyarakat di sekitar Gunung Padang melakukan hal yang merugikan diri mereka sendiri. Gejala itu terlihat dengan munculnya investor-investor yang membeli tanah di sekitar situs sembari memberikan iming-iming kepada warga bahwa mereka akan direkrut menjadi pegawai hotel atau penginapan yang akan dibangun.

KOMPAS/HARIS FIRDAUS Penulis spesialis situs megalitik asal Inggris, Graham Hancock, dan ahli ilmu alam asal Amerika Serikat, Robert Scoch (tengah), berbincang dengan anggota Tim Terpadu Riset Mandiri Gunung Padang di situs megalitik Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Kunjungan keduanya berlangsung saat acara Festival Gotrasawala.
Untuk menghindari maraknya percaloan tanah dan pembangunan di sekitar Situs Gunung Padang, IAAI mengusulkan adanya moratorium pembangunan di sekitar kawasan Gunung padang.

”Kami mengusulkan pembatasan pembangunan di kawasan itu minimal sejauh 5 kilometer. Sebab, pembangunan yang tak beraturan akan merusak pemandangan Gunung Padang,” katanya.

Selain mengusulkan adanya moratorium pembangunan, hamparan kebun teh di sekitar Gunung Padang juga bisa dikembangkan sebagai destinasi wisata alam. Jika itu dipertahankan bersama dengan Situs Gunung Padang, kawasan tersebut akan lestari.

Semua usulan itu dituangkan dalam rencana induk penataan Gunung Padang periode 2016-2019. Rencana induk itu diharapkan dilanjutkan pula pada periode kepemimpinan presiden berikutnya.

Sebelumnya, mantan Direktur Jenderal Kebudayaan Kacung Marijan juga mengatakan, pemerintah ingin mengembalikan lagi penelitian Gunung Padang pada penelitian akademik murni.

Perang pendapat tentang Gunung Padang belum mampu menguak sepenuhnya misteri situs itu. Sebaliknya, kondisi cagar budaya berbentuk punden berundak itu justru semakin memprihatinkan seiring datangnya ribuan manusia dengan sejumlah kepentingan. (ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com