Gilles Saisi, misalnya, datang bersama istrinya, Tatik. Gilles yang diajak Redy, penggagas Jaringan Festival Kampung Nusantara, tak keberatan menyumbang bermain musik karena ia suka. Ia pun tak masalah harus merogoh kocek sendiri untuk bisa datang ke Banyuwangi.
Warga pun bergotong royong ikut membantu. Salah satu warga meminjami lampu pendar agar panggung tambah terang. Warga lain meminjami karpet untuk duduk-duduk agar penonton nyaman menyaksikan pertunjukan.
Sri Hartini, warga Tumenggungan, tak keberatan membuat masakan untuk hidangan para tamu. ”Setiap RW digilir membuat 75 nasi kotak,” katanya.
Sri Hartini bahkan senang banyak tamu yang datang ke rumahnya. Warga juga menyediakan rumah mereka sebagai tempat menginap para tamu seniman, termasuk para bule seniman dan wisatawan.
Hangatnya suasana kampung membuat Anita Rahsar, wisatawan dari Slovenia, pun terpikat. Di negara asalnya, kampung dengan kehangatan suasana seperti di Tumenggungan tidak ia dapatkan.
Bersama tiga nenek asli Banyuwangi dan dua kawan Indonesianya, Anita pun menghabiskan malam dengan bercanda sambil menikmati es temulawak suguhan tuan rumah.
”Saya tidak tahu bahasa mereka, tetapi saya sangat suka. Mereka ramah dan baik,” kata Anita sambil berfoto-foto bersama warga.
Dari kejauhan, alunan gitar milik Gilles Saisi sayup-sayup terdengar. Gang-gang kecil Kampung Tumenggungan malam itu berubah menjadi tempat wisata yang hangat dan ramah. (Siwi Yunita C)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.