Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Kampung Menuju Wisata Internasional

Kompas.com - 23/01/2016, 14:23 WIB
DARI gang-gang kecil Kampung Tumenggungan di Banyuwangi, Jawa Timur, anak-anak hingga orang tua bahu-membahu mengangkat citra baru kampung mereka. Kampung Tumenggungan yang sudah lama menjadi tempat para seniman Banyuwangi itu diberdayakan menjadi kampung seni internasional lewat festival Kampung Tumenggungan.

Kampung Tumenggungan yang biasanya ramai oleh kegiatan kesenian lokal, Sabtu (16/1/2016) lalu, bertambah meriah dengan kedatangan musisi-musisi internasional. Mereka berkolaborasi di panggung kecil mirip panggung kampung tujuh belasan dengan atraksi musik dan tari.

Gilles Saisi (60), pemain gitar dan komposer dari Perancis, mengawali pentas dengan seniman-seniman lain, seperti Oliver dari Perancis, Redy Eko Prasetyo dari Malang, dan Putut Prabu musisi kontemporer dari Yogyakarta. Mereka membawakan kolaborasi musik eksperimental. Paduan musik etnis dan kontemporer.

Di panggung lain, berjarak 300 meter, Isis Wolf, pemain klarinet asal Inggris, dan Marious Manelaou, pemain bass etno kontemporer dari Siprus, membawakan komposisi apik bernuansa musik Timur Tengah.

Suguhan musik yang enak didengar itu pun menghiasi malam Minggu di kampung tersebut. Warga dari berbagai usia berkumpul ikut menonton. Beberapa ikut berjoget ringan mengiringi musik yang ada.

Kegembiraan tak hanya terjadi malam itu. Sebelumnya, siang hari, para penari berkebangsaan Eropa telah menghangatkan suasana dengan berkeliling kampung.

Sarka Barruskova penari dari Ceko dan Matilda Minibrook dari Lituania mendatangi rumah-rumah warga di gang-gang kecil Tumenggungan. Mereka minta diajari gerakan khas tarian banyuwangi untuk bisa dikolaborasikan dengan tarian mereka.

Mereka belajar menyeblak sampur (gerakan mengibaskan kain saat menari), menggerakkan pinggul mengikuti kendang, ataupun menggerakkan kepala ke kiri dan ke kanan dalam posisi tegak. Warga pun dengan senang hati mengajari mereka.

Keakraban para seniman tersebut dan warga melebur dalam Festival Kampung Tumenggungan.

Spontanitas

Jauh sebelum ada festival kampung, Tumenggungan sudah menjadi kampung seniman di Banyuwangi. Komposer-komposer lagu lokal, seniman patrol (musik khas Banyuwangi), dan penari gadrung hidup di perkampungan belakang pendopo kabupaten ini.

Menurut Lurah Tumenggungan Suko Priyanto, kampung itu adalah kampung pertama yang bangun saat pusat pemerintahan Kadipaten Blambangan dipindahkan dari Ulupangpang (sekitar Kecamatan Muncar Banyuwangi) ke hutan Tirtaganda yang kini menjadi Banyuwangi.

Kampung itu dibangun pada 1771 di belakang kompleks Keraton Kadipaten Blambangan atau yang kini menjadi Pendopo Banyuwangi. Di tempat itulah bermukim para pejabat pemerintahan dan juga pengurus rumah tangga Keraton Blambangan, termasuk para seniman lukis, tari, dan musik.

Kini, setelah 300 tahun, Tumenggungan tetap menjadi kampung seni di Banyuwangi. Setiap sore, anak-anak berlatih tari dan gamelan di balai desa kampung.

Di ujung-ujung jalan, anak-anak muda berkumpul bermain musik patrol khas Banyuwangi. Dari sini muncullah sejumlah nama komposer andal Banyuwangi, seperti Arief, atau penyanyi angkatan muda, seperti Catur Arum.

Di kampung ini, banyak bangunan kuno rumah lama masih terpelihara. Rumah khas Banyuwangi dengan anyaman bambu dan ruang tamu terbuka yang bersisihan dengan rumah- rumah kolonial Belanda yang masih terawat.

Suko Prayitno mengatakan, Tumenggungan punya banyak potensi yang bisa dikembangkan sebagai desa wisata. Dari kesenian, misalnya, kampung itu menjadi pusat kegiatan kesenian Banyuwangi.

Di kampung itu pula pengunjung bisa berbelanja batik banyuwangi yang sedang naik daun. Sebagian warga Tumenggungan memang turun- temurun menjadi pembatik Keraton Blambangan.

”Modal untuk menjadikan desa wisata sudah ada, yakni ada obyek yang dilihat, ada hal yang dikerjakan, seperti belajar membatik dan belajar main patrol. Ada pula yang bisa dinikmati, seperti makanan khas, ada yang dibeli juga, seperti oleh-oleh dan kerajinan tangan, serta ada ciri khas lokal, yakni kampung kuno bergang sempit tetapi bersejarah,” katanya.

Banyaknya potensi yang dimiliki Kampung Tumenggungan membuat warga dan Jaringan Festival Kampung Nusantara berinisiatif membuat Festival Kampung Tumenggungan. Acara itu berlangsung Sabtu hingga Minggu lalu, dari sore hingga malam hari.

Selain menikmati penampilan para seniman dari berbagai negara, pengunjung bisa menikmati pasar kampung, semacam bazar yang menjual berbagai macam makanan khas Banyuwangi dan cendera mata, seperti batik, kaus, dan gantungan kunci.

Bachtiar Djanan dari Humas Festival Kampung Nusantara mengatakan, acara Festival Kampung Tumenggungan berlangsung spontan. ”Hanya sepekan persiapan kami untuk mengadakan acara ini. Tidak ada persiapan khusus, kami hanya berangkat dan bergerak bersama-sama,” katanya.

Meski hanya sepekan, festival tersebut berlangsung meriah. Sebanyak 30 seniman luar negeri dan Nusantara bersedia hadir dari jauh untuk manggung tanpa dibayar.

Gilles Saisi, misalnya, datang bersama istrinya, Tatik. Gilles yang diajak Redy, penggagas Jaringan Festival Kampung Nusantara, tak keberatan menyumbang bermain musik karena ia suka. Ia pun tak masalah harus merogoh kocek sendiri untuk bisa datang ke Banyuwangi.

Warga pun bergotong royong ikut membantu. Salah satu warga meminjami lampu pendar agar panggung tambah terang. Warga lain meminjami karpet untuk duduk-duduk agar penonton nyaman menyaksikan pertunjukan.

Sri Hartini, warga Tumenggungan, tak keberatan membuat masakan untuk hidangan para tamu. ”Setiap RW digilir membuat 75 nasi kotak,” katanya.

Sri Hartini bahkan senang banyak tamu yang datang ke rumahnya. Warga juga menyediakan rumah mereka sebagai tempat menginap para tamu seniman, termasuk para bule seniman dan wisatawan.

Hangatnya suasana kampung membuat Anita Rahsar, wisatawan dari Slovenia, pun terpikat. Di negara asalnya, kampung dengan kehangatan suasana seperti di Tumenggungan tidak ia dapatkan.

Bersama tiga nenek asli Banyuwangi dan dua kawan Indonesianya, Anita pun menghabiskan malam dengan bercanda sambil menikmati es temulawak suguhan tuan rumah.

”Saya tidak tahu bahasa mereka, tetapi saya sangat suka. Mereka ramah dan baik,” kata Anita sambil berfoto-foto bersama warga.

Dari kejauhan, alunan gitar milik Gilles Saisi sayup-sayup terdengar. Gang-gang kecil Kampung Tumenggungan malam itu berubah menjadi tempat wisata yang hangat dan ramah. (Siwi Yunita C)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com