Prosesi kematian itu kemudian menarik kehadiran banyak wisatawan. Tak ada ketakutan....
Pagi hari di salah satu desa tertua di Bali itu berdenyut ketika sinar matahari menerobos pepohonan. Keindahan terasa sempurna jika direguk dari pelataran pura kuno Pancering Jagat yang dipercaya sebagai pusat dunia.
Keindahan ini juga direguk oleh turis-turis asing yang berjalan kaki mendaki puncak Bukit Abang I di Banjar Madya, Trunyan.
Meskipun menjadi salah satu destinasi utama wisatawan, keseharian hidup di Trunyan terasa sederhana dan jauh dari hiruk-pikuk. Tak ada hotel atau penginapan di kawasan tersebut.
Bahkan, tidak satu restoran pun bisa ditemui di perkampungan. Hanya ada warung yang menjual minuman dan makanan kemasan untuk kebutuhan sehari-hari penduduk.
Biasanya wisatawan hanya mengunjungi makam tanpa sempat mereguk kehidupan sehari-hari di Trunyan. Pagi itu, Trunyan hanya dimiliki warganya yang sibuk dengan rutinitas harian. Anak sekolah dasar mengisi pelataran lapang di depan Pura Pancering Jagat dengan olahraga pagi.
Memasuki gang-gang kecil yang hanya bisa dilewati dengan berjalan kaki, para ibu sibuk membuat perapian kayu dan mulai memasak.
Sebagian warga Trunyan lainnya mengawali hari dengan menanam aneka sayuran, seperti bawang merah, cabai, dan tomat, di tepian Danau Batur.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.