"Dulu rutin latihan, kalau sekarang sudah agak jarang. Biasa sebulan atau dua bulan sekali kita baru kumpul untuk latihan," cerita Phiau.
Menjelang tahun baru Imlek, mereka pun kembali berkumpul supaya bisa tampil maksimal dalam perayaan tersebut. Dari penuturan Phiau, musik tersebut dibawa oleh pendahulu mereka saat melakukan eksodus dari pertambangan emas di Monterado menuju Sungai Duri.
Alat musik tersebut juga diklaim sudah berusia lebih dari 100 tahun. "Sekarang masih diturunkan. Yang tua-tua sudah pensiun, diturunkan kepada generasi yang muda, tapi prosesnya agak lama karena butuh kesabaran," ujar Phiau.
Pada era tahun 60-an, keberadaan kesenian maupun budaya China sempat dilarang tampil di muka umum. Kesenian tersebut pun menjadi vakum, hanya dimainkan di rumah dan pertunjukan kalangan terbatas. Kesenian tersebut sebelumnya digunakan untuk mengiringi pertunjukan opera ataupun pagelaran wayang dipadukan dengan seorang penyanyi.
Saat ini, hanya tersisa instrumen musik, tanpa ada lantunan syair maupun lirik. "Lagu yang dimainkan lagu rohani, pujian, kisah percintaan. Sekarang sudah tidak ada yang nyanyi, hanya musik instrumennya saja," jelas Phiau.
Menurut Phiau, saat ini sebenarnya banyak anak muda yang ingin belajar, tapi ndak mampu. Karena diperlukan kesabaran untuk mempelajari alat musik tersebut.