Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Senjakala "Delapan Dewa", Pengiring Pertunjukan Wayang dan Opera

Kompas.com - 05/02/2016, 17:03 WIB
Kontributor Pontianak, Yohanes Kurnia Irawan

Penulis

PONTIANAK, KOMPAS.com - Alunan musik yang terdengar begitu khas. Perpaduan antara suara kecapi dengan alat musik gesek seperti biola dan seruling menghasilkan instrumen yang enak didengar.

Sekilas mendengar, kita seolah sedang berada pada masa di mana opera atau pertunjukan wayang ala China menjadi hiburan. Pertunjukan yang mungkin pernah kita saksikan dalam film-film klasik dari negeri China.

Delapan Dewa, begitu mereka menamakan jenis musik yang sedang mereka mainkan. Sie Cit Phiau (49), salah satu pemain musik menuturkan, Pat Jim (dalam bahasa Khek yang artinya Delapan Dewa) yang mereka mainkan saat ini sudah memasuki generasi ke empat. Artinya, lebih dari seratus tahun keberadaan kesenian tradisional tersebut masih dipertahankan.

Alat musik tersebut dalam bahasa Khek di antaranya Kesong (Fu Hian), Theu Hian, Jong Khin (Kecapi), Sam Hian, Nyi Hian, Siau (seruling), Jo pui (mangkuk), dan Tok.

Alat musik yang dimainkan pun sudah terlihat usang, termakan usia. Beberapa alat musik terlihat sudah dimodifikasi dengan peralatan elektronik, yang digunakan untuk kebutuhan pertunjukan.

Saat KompasTravel berkunjung ke Kelenteng Ci Sian Si Miau, Kamis (4/2/2016), mereka terlihat sedang sibuk latihan. Lokasi kelenteng yang berada persis di pinggir pantai menambah suasana latihan saat itu terasa lebih hidup.

Kelenteng berukuran enam kali enam meter tersebut terletak di Desa Sungai Duri, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat atau sekitar 90 kilometer dari Pontianak menuju arah Kota Singkawang.

"Musik ini biasa kita mainkan saat ulang tahun kelenteng, menyambut pejabat, atau undangan khusus lainya," ujar Sie Cit Phiau.

Sangar Harmonis, nama yang mereka sandangkan pada kelompok musik tersebut. Beranggotakan delapan pemain musik, rata-rata usia mereka di atas 45 hingga 60 tahun. Namun semangat mereka tak luntur, meski sadar bahwa mereka butuh "penerus" untuk mempertahankan keberadaan kesenian tersebut.

"Dulu rutin latihan, kalau sekarang sudah agak jarang. Biasa sebulan atau dua bulan sekali kita baru kumpul untuk latihan," cerita Phiau.

Menjelang tahun baru Imlek, mereka pun kembali berkumpul supaya bisa tampil maksimal dalam perayaan tersebut. Dari penuturan Phiau, musik tersebut dibawa oleh pendahulu mereka saat melakukan eksodus dari pertambangan emas di Monterado menuju Sungai Duri.

Alat musik tersebut juga diklaim sudah berusia lebih dari 100 tahun. "Sekarang masih diturunkan. Yang tua-tua sudah pensiun, diturunkan kepada generasi yang muda, tapi prosesnya agak lama karena butuh kesabaran," ujar Phiau.

Pada era tahun 60-an, keberadaan kesenian maupun budaya China sempat dilarang tampil di muka umum. Kesenian tersebut pun menjadi vakum, hanya dimainkan di rumah dan pertunjukan kalangan terbatas. Kesenian tersebut sebelumnya digunakan untuk mengiringi pertunjukan opera ataupun pagelaran wayang dipadukan dengan seorang penyanyi.

Saat ini, hanya tersisa instrumen musik, tanpa ada lantunan syair maupun lirik. "Lagu yang dimainkan lagu rohani, pujian, kisah percintaan. Sekarang sudah tidak ada yang nyanyi, hanya musik instrumennya saja," jelas Phiau.

Menurut Phiau, saat ini sebenarnya banyak anak muda yang ingin belajar, tapi ndak mampu. Karena diperlukan kesabaran untuk mempelajari alat musik tersebut.

"Misalnya saja, untuk memainkan kecapi, perlu waktu tiga tahun untuk menguasai alat musik tersebut," katanya.

Phiau dan tujuh pemain lainnya berharap, adanya industri rumahan yang bisa membuat alat musik yang mereka mainkan tersebut. Kemudian, seperangkat alat musik yang diproduksi tersebut dijual dalam satu paket lengkap.

"Jadi kalau orang mau belajar, kita bisa ajarkan. Yang penting alat musiknya ada, jadi bisa terus berkembang," kata Phiau penuh harap.

Keberadaan seni musik Delapan Tradisional dalam khazanah budaya nusantara harus tetap diteruskan di tengah gempuran hiburan era digital.

Di Kalimantan Barat secara umum, jumlah kelompok musik seperti ini tak lebih dari hitungan sepuluh jari. Phiau berharap, peran serta dan dukungan masyarakat bisa menyelamatkan musik Delapan Dewa dari senjakala, tergerus oleh perkembangan zaman dan teknologi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com