Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Membangun Kampoeng Wisata, Meraup Berkah dari Karisma Candi Borobudur

Kompas.com - 17/02/2016, 10:18 WIB
SIANG itu, suasana Toko Batik Tingal di Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, terlihat semarak. Sejumlah anak perempuan duduk di beranda sambil membatik.

Dengan sedikit kikuk, mereka menorehkan cairan malam di kain yang sudah digambari pola. Sesudah itu, mereka mencelupkan canting ke wadah cairan malam, lalu menorehkannya kembali ke kain.

Anak-anak itu bukanlah perajin batik sungguhan. Senin, 28 Desember 2015, mereka datang ke Batik Tingal untuk belajar membatik.

”Mereka ini rombongan wisatawan dari Semarang, Jawa Tengah. Selain melihat-lihat batik buatan kami, rombongan itu juga ingin belajar membatik,” kata pemilik usaha Batik Tingal, Lusiana (32).

Batik Tingal berlokasi tidak jauh dari Candi Borobudur yang termasyhur hingga ke mancanegara. Letak strategis itu membuat Batik Tingal kerap didatangi wisatawan yang berkunjung ke Candi Borobudur.

”Yang mampir ke sini kebanyakan wisatawan keluarga yang habis berkunjung ke Borobudur. Kadang mereka tak hanya membeli batik, tetapi juga belajar membatik,” ujar Lusiana.

Dia menambahkan, mereka yang mampir ke Batik Tingal tidak hanya wisatawan lokal, tetapi juga turis asing. Untuk menarik minat wisatawan, Lusiana sengaja membuka praktik belajar membatik. Kadang-kadang apabila ada tamu dalam jumlah besar, ia juga menyajikan kesenian tradisional setempat.

”Omzet saya sekitar Rp 30 juta per bulan. Kehadiran wisatawan sangat membantu penjualan batik saya. Apalagi, saya sudah menjalin kerja sama dengan hotel-hotel di sekitar Borobudur untuk mendatangkan wisatawan,” tutur Lusiana.

Batik Tingal merupakan salah satu usaha yang didirikan warga Desa Wanurejo. Di desa itu kini ada berbagai jenis usaha yang berkaitan dengan pariwisata.

Konsumen yang menjadi target dari usaha tersebut adalah wisatawan yang berkunjung ke Candi Borobudur. Hingga sekarang, Borobudur menjadi ”magnet” yang mendatangkan jutaan wisatawan tiap tahun.

Pada tahun 2014, misalnya, jumlah wisatawan yang berkunjung ke Borobudur mencapai 3,24 juta orang.

Dari jumlah itu, sekitar 3 juta di antaranya merupakan wisatawan domestik. Dengan jumlah turis sebesar itu, tak heran apabila desa di sekitar Borobudur pun berupaya agar mereka ikut mendapat berkah dari pariwisata Borobudur.

Perintis

Aktivitas pariwisata di Desa Wanurejo antara lain dirintis Nuryanto (42). Mulanya, Nuryanto mendirikan usaha kerajinan yang dinamai Lidiah Art pada tahun 1999.

”Awalnya, saya membuat aneka miniatur candi untuk dijual sebagai suvenir kepada wisatawan yang datang ke Borobudur,” kata pria yang juga memiliki keterampilan melukis tersebut.

Lama-kelamaan, Lidiah Art berkembang pesat dan jenis kerajinan yang dibuat makin banyak.

Nuryanto kemudian memiliki ide untuk membuat paket wisata edukasi, yakni dengan mengajak para turis belajar langsung membuat kerajinan.

Paket wisata itu pun disambut baik. Banyak rombongan wisatawan, termasuk para pelajar, datang ke desa tersebut untuk belajar membuat wisatawan.

”Suatu saat, ada wisatawan yang tanya, apakah bisa menginap di desa ini untuk belajar membuat kerajinan. Akhirnya warga mulai menyiapkan rumahnya untuk menjadi penginapan bagi wisatawan. Inilah cikal bakal homestay di Desa Wanurejo,” tutur Nuryanto.

Sesudah usaha homestay tumbuh, muncullah usaha lain, seperti katering, kelompok kesenian, penyewaan sepeda, dan jasa transportasi andong.

Pada tahun 2008, Nuryanto bersama sejumlah warga Desa Wanurejo mendirikan Koperasi Pariwisata Daerah (Koparda) Wonorojo untuk mewadahi kegiatan pariwisata yang mereka jalankan.

Menurut Nuryanto, pada masa awal, koperasi itu mengalami berbagai hambatan. ”Kami awalnya memiliki kantor di kompleks Candi Borobudur. Namun, kami kemudian diminta pindah sehingga tahun 2010-2011 koperasi itu tidak memiliki kantor,” katanya.

Selain sempat tak punya kantor, jumlah wisatawan yang memakai jasa Koparda Wonorojo awalnya juga tak banyak. Kebanyakan wisatawan hanya datang ke Lidiah Art sehingga pendapatan masyarakat tak mengalami peningkatan signifikan.

Pada 2012, Nuryanto mengundang biro-biro perjalanan di Jawa dan Bali untuk berwisata ke Wanurejo.

”Mereka di sini satu hari satu malam dan semua biaya saya gratiskan. Pertemuan dengan biro travel ini merupakan cara kami mempromosikan wisata di Wanurejo,” tuturnya.

Karena cara promosi dengan mengundang biro perjalanan itu dinilai efektif, Nuryanto menggelar kegiatan serupa selama beberapa kali.

Sejak itu, Wanurejo mulai dilirik sebagian wisatawan yang datang ke Candi Borobudur sebagai obyek wisata pelengkap.

Kini, Koparda Wonorojo menawarkan aneka paket wisata, misalnya belajar membuat kerajinan, keliling desa dengan naik andong, menonton kesenian tradisional, dan wisata rafting atau arung jeram.

”Jumlah homestay di sini 85 rumah dan tiap homestay biasanya memiliki 5 kamar. Kalau akhir pekan, homestay di sini selalu penuh,” kata Nuryanto.

Dia menambahkan, pada tahun 2015, jumlah wisatawan yang berkunjung ke Desa Wanurejo 6.500 orang. Namun, saat ditanya berapa jumlah pendapatan yang dihasilkan dari kunjungan wisatawan itu, Nuryanto mengaku kurang tahu pasti.

Kredit

Pada tahun 2013, Koparda Wonorojo menjalin kerja sama dengan Bank Negara Indonesia (BNI). Secara bertahap, BNI mengucurkan kredit ke sejumlah warga Desa Wanurejo dan desa itu kemudian ditetapkan sebagai Kampoeng Wisata BNI Borobudur.

Kampoeng BNI Wisata merupakan program tanggung jawab sosial BNI yang bertujuan membantu pengembangan pariwisata di suatu wilayah.

Menurut Wakil Pemimpin Sentra Kredit Kecil BNI Magelang Daniek Widyaningrum, sejak tahun 2014 hingga November 2015, jumlah kredit yang disalurkan BNI kepada warga Desa Wanurejo Rp 5 miliar.

Kredit yang disalurkan itu antara lain terdiri dari Kredit Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) senilai Rp 1,6 miliar, Kredit Usaha Rakyat Rp 1,5 miliar, kredit komersial Rp 1,3 miliar, dan Kredit BNI Wirausaha Rp 600 juta.

Nuryanto menuturkan, kredit yang disalurkan BNI sangat membantu warga Wanurejo mendapatkan modal usaha dengan bunga ringan.

”Sebelum kehadiran BNI, warga berutang pada lembaga keuangan dengan bunga yang tinggi, bisa sampai 20 persen.

Sementara sekarang, penerima kredit PKBL hanya perlu membayar cicilan dengan bunga 6 persen,” katanya. (Haris Firdaus)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com