Murdijati Gardjito mengungkapkan karena gudeg perlu waktu memasak yang lama, pada awal abad 19 di Yogyakarta sendiri belum begitu banyak orang berjualan gudeg.
"Saking istimewanya, karena proses memasaknya yang lama dan pada waktu itu belum banyak yang berjualan, gudeg sering dijadikan makanan nadzar, atau wujud rasa sukur. Seperti jika anak sedang sakit, akan diajak makan gudeg jika nanti telah sembuh," cerita Murdijati Gardjito.
Kemudian pada tahun 1940-an bersamaan dengan ide Presiden Soekarno membangun universitas di Yogyakarta (UGM), gudeg mulai berkembang dan banyak dikenal masyarakat. Dari sinilah gudeg kering juga mulai hadir.
Keinginan para mahasiswa luar daerah yang ingin menjadikan gudeg sebagai oleh-oleh menghadirkan gudeg kering yang dimasak di dalam kendil agar lebih tahan lama.
Pembangunan kampus UGM di daerah Bulaksumur, juga memunculkan kampung sentra gudeg Mbarek yang berdekatan.
"Karena banyaknya mahasiswa UGM dan mereka perlu makan, maka hadir kampung Mbarek yang di sana banyak penjual gudeg. Keberadaan kampung ini semakin membuat gudeg kering berkembang dengan baik," ungkap Murdijati Gardjito.
Seiring dengan berjalannya waktu, sektor wisata juga semakin berkembang. Hal ini melatarbelakangi pemerintah untuk mengkontruksi sentra gudeg baru, yang berada di Wijilan sekitar tahun 1970-an.
Hingga saat ini gudeg telah menjadi ikon kuliner Yogyakarta, keberadaanya mudah ditemukan di setiap sudut kota Pelajar ini. Gudeg pun telah berkembang dengan baragam varian.
Jenis Gudeg
Secara umum gudeg terbagi dalam dua jenis, yakni gudeg basah dan gudeg kering. Gudeg basah adalah gudeg yang proses pengolahannya hanya sampai perebusan sehingga masih berair. Penyajiannya pun menggunakan kuah santan.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.