Fenomena mi instan sungguh luar biasa. Dalam perkembangannya 20 tahun terakhir di Indonesia dan juga dunia.
Masih jelas dalam ingatan semasa SD, pergi ke PRPP – Pekan Raya Promosi Pembangunan) semacam Pekan Raya Jakarta, tapi ini di Semarang, dengan peserta dari Jawa Tengah, di situ biasa ada stand dari beberapa produser mi instan yang menjajakan mi-nya, dimasak di tempat dan dinikmati langsung oleh pengunjung.
Masa itu rasanya keberadaan mi instan di meja makan dan lemari dapur keluarga Indonesia belumlah sedahsyat sekarang ini. Namun sekarang, keberadaan mi instan sudah begitu luas dan menyusup ke seluruh lapisan masyarakat.
Dari gerobak angkringan, warung kaki lima, warteg, kantin, rumah kost, rumah tangga, semua tak lepas dari keberadaan mi instan ini.
Noodle, mi, atau ada orang yang menyebut bakmi. Dari manakah mi ini berasal? Tidak susah ditebak, ya memang, dari negeri Tiongkok.
Orang Italia, Arab dan Tiongkok sama-sama klaim bahwa merekalah penemu mi, tapi yang jelas bukti dan jejak tertulis tercatat ditemukan di jaman East Han Dynasty di antara tahun 25 – 220 Masehi.
Jejak tertua ditemukan bulan Oktober 2005 di situs Lajia (Qijia culture) di pinggiran Yellow River di Qinghai terbuat dari foxtail millet dan broomcorn millet.
Secara umum mi didefinisikan sebagai: adonan tipis dan panjang, digulung dan dimasak dalam cairan mendidih. Cairan mendidih ini bisa air, bisa kuah, bisa minyak, sehingga bisa dikatakan bahwa cairan mendidih adalah media pemasak mi.
Kata noodle sendiri ditengarai dari bahasa Jerman nudel dan kemungkinan berasal dari akar kata nodus (knot = simpul) dari bahasa Latin. Sementara kata “mi” berasal dari dialek Hokkian dari kata “mian” (baca: myen).
Menurut bahan bakunya, ada beberapa jenis mi, yakni yang dari millet, wheat atau gandum, beras, mung bean, kentang (potato) atau canna starch dan buckwheat.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.