Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Brownies Markisa Noerlen, Bentuk Perlawanan Sang Seniman

Kompas.com - 22/03/2016, 08:12 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha

Penulis

MEDAN, KOMPAS.com – Bagi para penyuka brownies, pasti akan mengernyitkan dahi saat melihat kudapan kuning dengan aroma dan rasa buah yang jarang masuk dalam campuran rasa bahkan mustahil.

Pasalnya, semua orang sudah terpakem bahwa yang namanya brownies pasti berwarna cokelat dan bahan dasarnya terdiri dari cokelat.

“Ini bagian dari perlawanan dan bagian dari idealisme, orang Medan biasa melawan. Maka kakak buat brownies yang berbeda, warnanya kuning. Ternyata banyak yang suka. Baru satu bulan memulai, hampir seribu loyang yang order,” kata Rachmi Novianti alias Kak Mimi, pemilik Sirup Markisa Noerlen.

Saya menemuinya sepekan yang lalu di Jalan Sei Tuan Nomor 7 Medan Baru, Kota Medan, di Rumah Markisa Noerlen yang asri. Kembali ke brownies markisa, perempuan berambut pendek dan berkaca mata itu bilang, bagian dari kreatifitas dan inovasinya.

Dia berpikir, Sirup Markisa Noerlen sudah dikenal dan menjadi oleh-oleh wajib saat datang ke Medan. Tapi kenapa markisa hanya sampai sirup dan selai? Kenapa tidak dibuat penganan atau kudapan yang bergizi dan enak?

“Maka kakak datangi sahabat kakak Lisa Pane, dia ahli boga. Kami ngobrol-ngobrol dan coba buat. Lisa juga seorang yang idealis dan melawan, kami lawan arah, jadilah brownies markisa. Kami berdua seniman, melahirkan kuliner baru yang berkualitas adalah bagian dari kreatifitas kami,” katanya tersenyum.

Tiba-tiba, aroma harum menutup penciuman. Sontak naluri lapar datang. Rupanya, delapan loyang brownies markisa baru keluar dari oven. Melihat warnanya, saya sudah berselera betul.

Tapi Kak Mimi bilang, tunggu sampai diolesi selai markisa atasnya baru dicicipi. Begitu selai berwarna kuning dengan biji-biji hitam markisa menyelimuti seluruh permukaan kue persegi empat panjang itu, potongan pertamanya langsung saya yang caplok.

“Enak, selainya enak. Manisnya pas. Harumnya menggoda. Harganya berapa ini, kak,” tanya saya yang disambut gelak tawa.

“Harganya Rp 50.000, tapi harus pesan dulu. Karena kan tidak pakai pengawet, jadi kami gak berani pajang lama-lama. Lagian kan enak kalau masih fresh,” kata Kak Mimi sambil mengajak saya ke rumah Lisa.

Melihat langsung pembuatan si kuning yang menawan, sekalian bertanya-tanya apa saja yang membuatnya begitu renyah dan lembut.

“Ada tiga produk Noerlen di dalam brownies ini, yaitu selai, bubur dan sirup. Bubur itu, yang biji-biji ini. Saat ini kita Insya Allah produksi 50 loyang setiap hari, itu masih by order pihak Noerlen. Ini kan masih perkenalan tapi responnya sangat baik,” kata Lisa Pane yang terkenal dengan sebutan Lisa Chamil karena punya cake boutique Chamil di Jalan Sei Belutu Medan.

Dalam satu jam pemanggangan di oven menghasilkan delapan loyang. Rasa yang identik adalah markisa karena selainya berada di dalam dan permukaan. Adonannya terdiri dari tepung, telur, mentega, gula, dan susu.

Komposi selai adalah sirup, bubur sama selai, di masak menggunakan maizena. Kenapa disebut brownies, Lisa bilang, secara teori kue karena ukurannya yang pendek, kalau tinggi namanya cake atau bolu.

Menurutnya, makanan sama fashion tidak ada beda, kelebihan di makanan, juga ikut tren. Era tiga tahun lalu adalah gila-gilanya rainbow cake, makarun dan brownies kukus. Kalau soal taste, dengarkan saja komplain orang-orang lalu ambil sikap sendiri.

“Format memasak kue itu dari jajan nenek sampai sekarang tetap sama. Kelemahan zaman sekarang adalah pengenalan item-item yang memudahkan dengan tujuan mengurangi biaya produksi. Biasanya masuklah pengawet dan sari gula. Saya dalam konteks inilah atas nama Chamil tidak mau melakukannya. Saya prinsipnya baru mau jual kalau saya yakin bisa saya makan,” ucap perempuan berhijab itu yang diamini Kak Mimi.

Perbedaan orange cake atau lemone cake dengan brownies markisa adalah di pewangi makanannya. Di kedua cake itu biasanya menggunakan bagian luar buah seperti kulit dan daun jeruk.

KOMPAS.COM/MEI LEANDHA Mimi Noerlen dan Lisa Chamil, dua sahabat sesama seniman yang melawan pakem dengan kreasinya.
Di brownies markisa, yang diandalkan justru rasa asam isi buah. Jadi agak sulit bermain jika harus mencampurkan rasa lain agak rasa markisanya keluar. Warna kuningnya natural, berasal dari kuning telur dan mentega dan penabur.

“Kita tetap mengandalkan mutu dan bergizi. Konsepnya makanan sehat, jangka panjang pikirannya. Makanan sehat memang identik mahal, tinggal kembali ke orangnya lah,” kata Kak Mimi lagi.

Ke depannya, keduanya akan mengeluarkan brownies terong belanda. Belum tahu apakah tetap akan menggunakan nama Noerlen atau Chamil. Atau kedua-duanya sama-sama memproduksi tapi dengan harga yang tidak berbeda.

“Kalau di udara terbuka seperti ini, dua tiga hari tahan. Kalau di kulkas bisa 10 hari tapi pastikan kulkasnya tidak tercampur. Brownies ini enaknya juga dimakan besok, terasa enaknya,” kata alumni Brisbane Australia jurusan bisnis catering itu tersenyum. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com