Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Lawang Sakepeng", Berjuang ke Satu Tujuan

Kompas.com - 29/03/2016, 09:34 WIB

TABUHAN kendang dan garantung atau gong suku Dayak bertalu-talu memecah keheningan pagi. Rinto (28) dan Ita (16) berhadapan memasang kuda-kuda. Sorot mata mereka tajam bertatapan.

Tangan mereka membentuk pertahanan sekaligus bersiap menyerang. Keduanya pun beradu di bawah lawang sakepeng, yaitu gapura kayu yang dirintangi tiga utas benang.

Gapura kayu selebar 1,5 meter dengan tinggi 2,3 meter itu dihiasi daun kelapa muda. Pada kedua sisinya berhiaskan telawang atau perisai tradisional suku Dayak serta ornamen batang garing atau pohon kehidupan dalam filosofi hidup suku Dayak.

(BACA: Mengurai Kenangan di Tjilik Riwut)

Ornamen motif bajakah kalalawit atau tanaman rambat yang tumbuh di tepi-tepi sungai di Kalimantan Tengah menghiasi bagian atas gapura.

Dalam balutan busana benang bintik atau batik khas Kalteng, Rinto dan Ita saling menyerang dan menangkis. Keduanya adu ketangkasan sembari memutus benang-benang penghalang yang akan dilalui pengantin laki-laki beserta keluarga besarnya memasuki rumah mempelai perempuan.

”Benang itu bagaikan rintangan dan halangan yang harus disingkirkan,” kata Rinto yang juga Ketua Sanggar Kapakat Ot Danum, Sabtu (5/3/2016) di Palangkaraya, Kalteng.

Sabtu pagi itu, sejumlah anggota Sanggar Ot Danum memeriahkan rangkaian upacara adat suku Dayak dalam pernikahan Sisca Magdhalena Salongan (22) dengan I Putu Antama Wisnu Wahyu (22).

Rinto mengatakan, pencak silat yang ditampilkan dalam tradisi lawang sakepeng itu merupakan perpaduan antara seni bela diri dan gerakan-gerakan tari tradisional suku Dayak, seperti tari kinyah atau tari perang.

”Sejak kecil kami mulai belajar tari-tarian dan pencak silat ini,” katanya.

Pahlawan asal Kalteng, Tjilik Riwut, dalam buku Maneser Panatau Tatu Hiang-Menyelami Kekayaan Leluhur (penyunting: Nila Riwut, 2003) menuliskan, tari kinyah atau tari perang merupakan tari yang bernuansa keperkasaan seorang pahlawan dalam perang.

Tari kinyah merupakan tradisi yang biasa dilakukan di daerah suku Dayak Klemantan, Katingan, dan Kahayan.

Mantir Adat Kelurahan Langkai, Kecamatan Pahandut, Sius D Daya, mengatakan, secara harfiah lawang berarti pintu dan sakepeng berarti satu keping.

Secara sederhana, lawang sakepeng diartikan sebagai satu pintu atau satu tujuan. Adapun pasangan pesilat itu mewakili pihak laki-laki dan perempuan.

”Mereka beradu bukan untuk berkelahi, melainkan untuk mencapai tujuan bersama. Dalam pernikahan, mereka memiliki satu tujuan bersama membangun hidup baru dan juga bersama-sama menghalau rintangan yang ada,” kata Sius.

Sius mengatakan, gerakan-gerakan pencak silat suku Dayak yang ditampilkan saat ini merupakan kolaborasi dari berbagai jenis pencak silat, misalnya dari Tiongkok, Betawi, dan Melayu.

Namun, pada zaman dahulu para nenek moyang suku Dayak pertama- tama belajar silat dari mengamati tingkah laku hewan, terutama bangkui atau beruk yang lincah di hutan.

Seperti disebutkan dalam buku Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Kalimantan Tengah oleh Teras Mihing, dan kawan-kawan (penyunting: Kiwok D Rampai, 1994), tradisi lawang sakepeng selain untuk memeriahkan kedatangan pengantin laki-laki, juga dianggap memiliki nilai magis-religius.

Maksudnya adalah untuk menjauhkan semua rintangan dan malapetaka yang dapat menimpa calon suami-istri dalam membina kehidupan rumah tangga.

Kedua pesilat yang berhadapan itu juga melambangkan bahwa segala rintangan dan persoalan suami-istri akan dapat diatasi jika mereka senantiasa rukun, bekerja sama, dan saling membantu.

Sosiolog dari Universitas Palangkaraya Sidik R Usop mengatakan, lawang sakepeng merupakan simbol perjuangan untuk memulai hubungan yang baru, lebih dekat, dan lebih akrab dalam rumah tangga.

”Dalam interaksi sosial itu tidak cukup hanya ditunjukkan dengan suatu ikatan, tapi juga harus diwujudkan dalam perjuangan yang nyata,” kata Sidik.

Ia juga menyampaikan, hubungan yang baru di dalam perkawinan itu juga melibatkan kedua belah pihak keluarga besar. ”Sistem perkawinan suku Dayak akan melahirkan apa yang disebut extended family atau keluarga luas,” kata Sidik.

Menurut Sidik, lawang sakepeng yang dimaknai sebagai perjuangan di dalam menata interaksi sosial antarkeluarga jadi bagian yang harus diperjuangkan terus-menerus dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai kedamaian dan keharmonisan bersama.

Dalam interaksi sosial itu, kata Sidik, juga berkaitan dengan belom bahadat, yaitu tata krama bagaimana hubungan manusia dengan manusia diatur. Hubungan sosial itu bukan suatu hal yang bisa dibiarkan begitu saja, melainkan harus diperjuangkan.

”Kita tidak mungkin mempertahankan kedamaian dalam interaksi sosial secara alami, tapi harus terus diperjuangkan sebagai sebuah kesadaran,” ujarnya.

Dalam relasi dengan sesama, kata Sidik, manusia tidak pernah bebas nilai. Setiap manusia tentu harus menghormati sesamanya dan harus mengupayakan relasi yang saling menghidupkan satu sama lain.

Sidik menambahkan, lawang sakepeng atau gapura satu pintu yang digunakan untuk menyambut mempelai dan juga tamu undangan juga bisa ditemukan di tradisi suku lain.

Misalnya pada suku Jawa, terdapat pagar ayu dan pagar bagus yang terdiri atas barisan pemudi dan pemuda yang bertugas menyambut tamu dalam upacara pernikahan. (Megandika Wicaksono)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com