ROTTERDAM, KOMPAS.com - Kota Rotterdam, Belanda berada di bawah temperatur 10 derajat celcius. Agaknya saya terlalu sombong tidak memakai jaket sehingga tubuh ini menggigil kedinginan.
Kalau orang Bali protes bilangnya begini, "Ajum sajan, sing tawange dingin!" (artinya, sombong banget sih, kan dingin!).
Maksud hati sebenarnya ingin "menampilkan diri" seperti para pemuda tinggi besar bertato yang berlalu-lalang di depan loket pameran tato Rotterdam Convention Center pada bulan Maret 2016 lalu. Kelihatan gagah perkasa, bertato, galak dan jantan di depan siapa saja.
Bagi sebagian orang, kalau melihat orang bertato pasti muncul hal negatif. Kadang identik dengan berandalan, sangar, kriminal bahkan eks narapidana. Pandangan sinis selalu tertuju kepada mereka yang bertato.
Saat itu, saya berada di gedung Rotterdam Convention Center melihat secara langsung cara membuat tato. Bertemu seorang bule, lewat begitu saja dengan perawakan sangar, seluruh tubuhnya dirajah dengan berbagai gambar binatang, bunga, simbol-simbol patriotisme.
Telinganya berjubel anting-anting gede banget seperti lehernya mau miring ke kiri atau kekanan. Tapi ketika saya berbicara dengan dia, dia sangat sopan dan baik hati. Terpancar dalam hatinya energi positif.
Itulah suasana mengesankan saya, di saat mengunjungi seorang teman yang juga tukang tato andal. Teman saya itu bernama Wayan Abuth Suryana, pria jantan asal Bali yang ikut berpartisipasi dalam pameran Tattoo Internasional Rotterdam yang berlangsung 18-20 Maret 2016.
Melirik sejarah, tato adalah bagian dari budaya bangsa yang tercipta sudah zaman dahulu. Sejarah mencatat bahwa tato berasal dari bahasa Tahiti "tatu" yang diartikan tanda.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.