Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rindu Baduy Dalam: Pelajaran dari Safri, Pelestari Tradisi Hadapi Modernisasi

Kompas.com - 06/04/2016, 19:37 WIB

Saat itu sinyal yang tertera di ponsel kami semua operator tak lebih dari dua bar saja. Itu pun lebih sering hilangnya. Wajar, sejauh mata memandang, tak tampak adanya pemancar BTS. Oh, ada satu, itu pun jauh dan katanya belum dioperasikan. Hahaha... Sekarang mungkin sudah bagus. Safri beserta rombongannya turun kampung demi bisa menjemput kami.

Saat itu pertama kali saya dikenalkan Ari kepada Safri, adik-adiknya, saudaranya, juga Pak Narja yang sudah pernah beberapa kali jalan kaki lewat Cianjur saat mau ke Bandung (sebelum Banten pisah provinsi dari Jawa Barat).

Safri menyambut dan menyapa kami dengan bahasa Indonesia yang fasih. Dia dan keluarganya malah kebalik kaget saat saya bicara menggunakan bahasa Sunda yang menurut mereka logat dan bahasa saya halus, beda dengan dialek yang mereka pakai.

Saat itu baru saya percaya kalau prasangka kebanyakan orang bahwa orang Baduy itu "terbelakang" adalah salah besar. Yang ada mereka sangat jauh lebih maju dan beradab ketimbang orang kota yang katanya berpendidikan.

Saya berani katakan itu, karena hanya telat menjemput kami, Safri langsung meminta maaf. Satu sikap sopan santun yang sangat tinggi yang sudah mulai luntur di kalangan orang kota yang kebanyakan malah membuat jam karet jika ada acara.

Safri dan seluruh warga Baduy Dalam memang menolak sekolah gratis yang ditawarkan pemerintah, pun dengan segala fasilitas serba modern lainnya. Tapi bukan berarti Safri dan warga Baduy Dalam lainnya lalu tidak tahu tata krama. Mereka justru melestarikan tradisi nenek moyang (bangsa Indonesia) yang selalu adab, sopan, dan santun.

Lalu bagaimana bisa berbahasa Indonesia jika sekolah saja tidak? Bagaimana bisa Safri menggunakan ponsel dan bahkan bisa kirim dan terima SMS sementara semua itu terlarang di wilayahnya?

Masih saya ingat setelah saya tanyakan itu semua, jawaban Safri saat itu hanya senyum, tanpa kata. Hanya telunjuknya yang diarahkan ke kedua matanya, kepala serta dadanya. Pada akhirnya Safri menjelaskan kalau ia sama seperti orang lain di luaran sana, kalau sebagai manusia ia juga punya mata, punya pikiran dan punya hati untuk merasakan.

Banyaknya turis yang datang ke Baduy Dalam itu semua dijadikan Safri sebagai bahan pembelajaran. Saat berinteraksi dengan orang luar, Safri menggunakan kesempatan itu untuk terus belajar dan belajar. Dan salutnya, apa yang ia pelajari, tidak dipegangnya sendiri, melainkan Safri mengajarkannya kembali kepada teman serta keluarganya.

"Karena itu aku semakin banyak tahu, semakin bisa dan lancar," ucapnya kala maghrib menemani perjalanan menuju Cibeo saat itu, masih terbayang dalam ingatan saya.

Sepanjang jalan saya bertanya dan Safri beserta teman-temannya menjawab. Mereka dengan ramah dan sopan memberikan informasi apa yang boleh dan apa yang tidak boleh kami lakukan selama berkunjung nanti ke Baduy Dalam. Termasuk memberi tahu di mana kami bisa berfoto, dan di mana batas kami jangan mengambil foto.

Keterbatasan di kampungnya yang memang melarang segala sesuatu yang bersifat modern membuat Safri membatasi diri dalam mempelajari ilmu-ilmu yang didapatnya itu hanya di luar kampung.

Halaman:
Sumber Kompasiana
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com