Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rindu Baduy Dalam: Pelajaran dari Safri, Pelestari Tradisi Hadapi Modernisasi

Kompas.com - 06/04/2016, 19:37 WIB

Tak akan lupa saat Safri dan Jali mengantar saya, Edita, Stefani dan Devi ke pancuran (tempat mandi umum) untuk membersihkan diri.

Malam itu pertama kali seumur hidup bagi Edita, Stefani dan Devi membersihkan diri tidak menggunakan shampoo maupun sabun. Menyikat gigi juga tanpa pasta gigi.

Bentuk penghargaan warga Baduy terhadap karunia serta berkah dari Yang Maha Kuasa. Mereka menjaga supaya alam serta isinya tidak tercemari produk-produk luar dan tetap berorientasi pada kemurnian alam.

Itulah Baduy Dalam yang sebenar-benarnya asli alam Indonesia. Mereka tidak pernah menyakiti alam, karena menurutnya apapun harus dijaga dengan baik.

Jika berada dalam suasana gerah dan berada dalam kondisi macet saya jadi teringat saat bermalam di Cibeo. Merindukan suasana keceriaan saat makan bersama dan ngobrol ramai-ramai.

Tidak hanya keluarga Safri yang menjadi tuan rumah, tapi juga saudara Safri lainnya dari rumah sebelah berdatangan dan ikut ngobrol. Rindu keadaan kampung gelap gulita, hanya bercahayakan lampu teplok seadanya beserta kelap-kelip bintang di langit sana.

Keadaan gelap gulita membuat kami makin merasakan sensasi kondisi alam Cibeo yang benar-benar alami, jauh dari modernisasi. Kunang-kunang yang kelap kelip di halaman jadi objek wisata pertama kali dilihat Edita malam itu.

Keesokan paginya, sebagaimana kebiasaan jika berkunjung ke kampung nenek, saya berkeliling kampung dan beramah-tamah dengan warga sekitar yang tidak berangkat ke ladang.

Saat hari terang saya baru bisa mengamati bangunan rumah Baduy Dalam serta isinya dengan saksama.

Suasana pengap karena rumah tak berjendela kecuali ada beberapa lubang bilik bambu yang sengaja anyamannya direnggangkan sehingga kita bisa mengintip ke luar.

Peralatan dapur sangat sederhana kebanyakan terbuat dari bambu, masih tradisional. Pagi buta Ibu Safri dan Darti --istrinya Safri-- sibuk menyalakan hawu (perapian) dan menyiapkan sarapan. Setelah siap mereka pamitan. Darti hendak ke ladang sementara ibunya Safri, sambil mengendong adik terkecil Safri berpamitan hendak ke lumbung. Mereka mengucapkan terima kasih dan memohon maaf jika nanti kami kembali ke kota tidak bisa mengantar.

Bagi saya pernyataan mereka itu adalah bentuk kesopansantunan dari seorang tuan rumah terhadap tamu. Meski warga Baduy Dalam ini tidak mengenyam pendidikan formal, tapi mereka memiliki perilaku yang beradab, santun, dan tanggung jawab.

Pak Narja sendiri tanpa kami ketahui sudah berangkat ke Cijahe membantu kami mencarikan angkutan untuk pulang ke Rangkasbitung. Kebetulan ada kerabatnya yang tinggal di Baduy Luar dan memiliki angkutan yang biasa dipakai ke Pasar Kroya.

Halaman:
Sumber Kompasiana
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com