Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Imelda Bachtiar

Alumnus Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia (UI) tahun 1995 dan Pascasarjana Kajian Gender UI tahun 2010. Menulis dan menyunting buku bertema seputar memoar dan pemikiran tokoh berkait sejarah Indonesia, kajian perempuan, Peristiwa 1965 dan kedirgantaraan. Karyanya: Kenangan tak Terucap. Saya, Ayah dan Tragedi 1965 (Penerbit Buku Kompas-PBK, 2013), Diaspora Indonesia, Bakti untuk Negeriku (PBK, 2015); Pak Harto, Saya dan Kontainer Medik Udara (PBK, 2017); Dari Capung sampai Hercules (PBK, 2017).

Jam Gadang, Ikon Wisata Bukittinggi

Kompas.com - 11/04/2016, 13:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Kalau iseng bertanya pada sepuluh orang saja yang kita temui acak di Bukittinggi, Sumatera Barat: Apa ciri khas kota dingin yang pernah jadi ibukota negara di masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia tahun 1948 itu? Jam Gadang.

Pasti itu jawabannya. Penanda waktu, penanda pusat kota, dan lokasi berfoto paling kondang se-Sumatera Barat, juga kebanggaan seluruh warganya. Umur Jam Gadang tahun ini tepat 90 tahun!

Pagi 26 Maret 2016. Hari masih pukul 8.00. Pelataran Jam Gadang (Besar) dan Pasar Ateh (Atas) di Bukittinggi belum ramai. Beberapa toko pakaian muslim dan mukena khas yang ada di lantai dasar menghadap patung sepasang harimau Sumatera, belum lagi buka. Tetapi, suami isteri itu sudah terburu-buru mengemasi dagangannya, aneka kaos dengan gambar logo Jam Gadang Bukittinggi.

Untuk menggelar dagangannya, mereka memang telah menyiapkan meja lebar yang rendah, seukuran tinggi orang berjongkok, yang dilengkapi roda-roda besi. Kapan saja, meja dagangan ini bisa dikemasi dan berpindah dengan gampang.

“Memang seperti inilah cara kita berdagang. Sudah lima tahun ini, tak gampang berdagang kaos suvenir di sini. Masih pagi, tapi polisi sudah minta kita pergi,” kata An (48).

Miris melihat nasib pedagang kaki lima yang biasa berjualan bebas di pelataran Jam Gadang ini. Tetapi di sisi lain, banyak yang bersyukur karena Jam Gadang kembali terlihat bentuk aslinya, menara jam yang indah, penanda waktu yang menjadi saksi sejarah karena usianya sudah amat tua: 90 tahun.

Jam Gadang kembali megah dan anggun, karena pelatarannya kini telah bersih dari pedagang kaki lima makanan dan pakaian, tempat sampah dan taman pepohonannya dirawat baik, juga kursi-kursi betonnya kembali dicat.

Taman Sabai Nan Aluih -tempat tegaknya Jam Gadang- juga Istana Bung Hatta dan Pasar Ateh,  seperti menjadi kesatuan yang indah dibingkai oleh panorama Ngarai Sianok di kejauhan.

Sejarah Jam Gadang

Berada persis di tengah kota, bangunan ini semacam tugu dengan tinggi 26 meter yang denah bangunan dasarnya berukuran 13x4 meter berdisain khas Eropa-zaman kolonial. Jam bulat berdiameter 80 cm itu dipasang di puncak tugu, di keempat sisi pucuk bangunan. Jadi, ada empat bulatan jam.

Tugu yang berpucuk bulatan jam dengan dasar putih dan jarum jam klasik warna hitam ini, unik, karena angka jamnya berhuruf Romawi, tetapi penunjuk angka empatnya tertulis “IIII”, bukan “IV”.

Masih misteri kenapa angka itu ditulis demikian, dan tak ada pula yang ingin mengubahnya. Sepertinya, biarlah itu jadi ciri khasnya.

Beberapa tulisan sejarah mencatat tugu Jam Gadang dibangun tahun 1926 setelah Ratu Belanda menghadiahi mesin jam ini kepada Controleur  atau Sekretaris Kota Bukittinggi waktu itu, Rook Maker.

WARTA KOTA / ANGGA BHAGYA NUGRAHA Warga memenuhi kawasan wisata Jam Gadang Bukit Tinggi, Padang, Sumatera Barat, Jumat (31/5/2013). Lokasi sekitar wisata Jam Gadang dikibarkan bendera start tanda dimulainya balap sepeda Tour de Singkarak 2013.
Dua orang arsitek setempat –Yazin dan Sutan Gigi Ameh- menyelesaikan tugu yang pembangunannya menghabiskan dana 3.000 Gulden itu. Pembuat mesin jam ini justru bukan orang Belanda, tetapi orang Amerika. Menurut literatur, sang pembuat adalah Forman, bangsawan asal Amerika.

Bentuk atap tugu Jam Gadang telah mengalami tiga perubahan. Pada zaman Belanda, atapnya berbentuk bulat dengan patung ayam jantan di atasnya. Pada waktu Jepang berkuasa, atapnya diganti berbentuk seperti rumah-rumah Jepang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com