Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemberontakan di Republik Jengkol

Kompas.com - 21/04/2016, 10:15 WIB

”Jengkol Jepara bagus meskipun harganya lebih mahal sampai tiga kali lipat daripada jengkol lain,” ujar Gunarsah.

Di D’Jengkol Kapeh Restoh, jengkol diolah menjadi aneka menu, mulai dari nasi jengkol rendang amajing, nasi jengkol balado masbuloh, dan jengkol goreng pertamak.

Dari DI Yogyakarta, martabat jengkol juga diperjuangkan Mujiyem (67), pemilik Warung Makan Rojo Jengkol di Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman.

Warung yang berdiri sejak 2015 ini kian populer berkat kepercayaan dirinya mengkhususkan pada menu spesialis jengkol. ”Kami pilih jengkol sebagai menu utama karena banyak orang yang suka jengkol, tetapi malas masaknya,” kata Mujiyem.

Menu yang disajikan di Rojo Jengkol, antara lain, rendang jengkol, oseng-oseng jengkol, semur jengkol, balado jengkol, dan gulai jengkol.

Saat liburan Natal dan Tahun Baru 2015, misalnya, pengunjung di Rojo Jengkol membeludak sehingga 15 kg jengkol pun habis dalam waktu hanya 3 jam. ”Kadang, ada saja pembeli yang pesan lebih dulu lalu beli jengkol sampai 1 kilogram untuk dibawa pulang,” ungkap Mujiyem.

Martabat jengkol di warung Rojo Jengkol diperjuangkan juga dengan menghilangkan baunya. Mujiyem mengolahnya selama tiga hari sebelum memasaknya. Ia menggunakan ramuan rempah-rempah untuk memusnahkan bau si jengkol.

Sayangnya, Mujiyem mengeluh harga jengkol yang kadang fluktuatif. Ramadhan tahun lalu, misalnya, harga jengkol sempat mencapai Rp 120.000 per kg melampaui harga daging sapi.

Semula anti

Pegiat jengkol tak berarti pada mulanya pencinta jengkol. Seperti Fatoni, yang semula mengaku anti jengkol karena tak tahan baunya. Namun, sang istri amat menggemarinya. Fatoni lantas terpikir mencari cara mengolah jengkol agar tak lagi berbau.

Dia mengaku enggan terjebak pada citra jengkol yang hina. Setelah melepaskan kariernya sebagai ilustrator, ia bertekad mendirikan rumah makan khusus jengkol tanpa bau. Ia tak peduli kepada orang-orang yang menertawakan warungnya.

KOMPAS/HARIS FIRDAUS Warung jengkol.
Cemoohan juga sempat diterima Gunarsah saat mempromosikan masakan jengkolnya di ajang car free day. Orang-orang yang ditawari jengkol bebas bau tetap menutup hidung.

Inlander

Mengapa suatu makanan, seperti jengkol, bisa menyandang citra hina secara sosial? Sejarawan JJ Rizal menganggap hal itu tak terlepas dari warisan paradigma yang terbentuk sejak
zaman Belanda ketika makananmakanan tertentu dikotak-kotakkan menurut kelas sosial.

Rizal mencontohkan seperti jengkol, nasi pada mulanya distigmatisasi sebagai makanan inlander, tidak berkelas, tidak bermartabat, bahkan dikutuk sebagai sumber bau badan.

”Itu makanan pribumi. Dalam perjalanannya, orang Belanda ketika itu lalu diam-diam sampai terbuka menyenangi nasi. Mereka menyiasatinya dengan ritual ekstravaganza yang memunculkan rijsttafel,” kata Rizal.

Menurut Rizal, nasib durian yang juga berbau menyengat lebih baik daripada jengkol. ”Ini berkat stimulus elite yang terlibat dalam bisnis durian bangkok yang dihadirkan waralaba berkelas,” tambah Rizal.

Rizal juga kadang mencermati, kalangan elite yang menggemari jengkol masih terbelenggu gengsi. Itu mencerminkan betapa makanan pun bisa dianggap menyandang aib yang berpotensi menodai citra kelas. Inilah yang disebut Rizal sebagai arogansi kelas yang bersembunyi dalam produk budaya, yaitu makanan.

”Agar tidak malu pun, kelas menengah-atas bahkan menciptakan bahasa samaran atau kode untuk jengkol,” ujar Rizal. Lantas terciptalah istilah jengki yang terdengar lebih cute. (FRO)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com