DUA remaja putri terlihat asyik menikmati suasana trotoar sisi timur kawasan Malioboro, Kota Yogyakarta, Jumat (15/4/2016) pagi. Mereka bergantian duduk di bangku, lalu saling memotret dengan aneka pose.
Puas berfoto, mereka melanjutkan perjalanan dengan menyusuri trotoar yang kini lebih nyaman karena tak lagi menjadi tempat parkir sepeda motor.
Mulai awal April, wajah Malioboro berubah. Trotoar sisi timur kawasan itu, yang selama bertahun-tahun menjadi tempat parkir, bersih dari kendaraan bermotor.
Sejak Senin (4/4/2016), Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta melarang trotoar timur Malioboro menjadi tempat parkir. Zona parkir sepeda motor pun direlokasi ke lantai dua dan tiga Tempat Khusus Parkir (TKP) Abu Bakar Ali yang terletak di sebelah utara Malioboro.
Meskipun awalnya sempat ditentang sebagian juru parkir di Malioboro, relokasi area parkir berjalan lancar. Secara bertahap, juru parkir mendaftarkan diri ke Pemkot Yogyakarta supaya bisa bekerja di TKP Abu Bakar Ali.
”Pemindahan zona parkir ini bertujuan membuat trotoar timur Malioboro lebih nyaman dilalui para pejalan kaki,” kata Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti.
Ia berharap semua pihak, termasuk para juru parkir, mendukung pemindahan zona parkir itu. Apalagi, para juru parkir yang sebelumnya bekerja di trotoar sisi timur Malioboro juga dipekerjakan di TKP Abu Bakar Ali.
Untaian bunga
Kawasan Malioboro, yang berlokasi di antara Keraton Yogyakarta dan Tugu Yogyakarta, merupakan tujuan wisata favorit sekaligus pusat perdagangan. Pusat kawasan itu adalah dua jalan raya yang saling menyambung dalam garis lurus, yakni Jalan Malioboro di utara dan Jalan Margo Mulyo di selatan.
Di sepanjang kedua jalan itu, berdasarkan data Paguyuban Kawasan Malioboro, terdapat sedikitnya 100 toko dan sekitar 3.000 pedagang kaki lima (PKL). Jumlah itu belum termasuk toko dan PKL di jalan-jalan kecil di sekitar Malioboro.
Dalam buku Asal Usul Nama Yogyakarta-Malioboro (2015), sejarawan Peter Carey menyatakan, nama Malioboro kemungkinan disadur dari kata ”malyabhara” dalam bahasa Sansekerta yang berarti berhiaskan untaian bunga.
Jalan Malioboro juga merupakan bagian dari sumbu filosofi Keraton Yogyakarta, yakni garis lurus yang membentang dari Tugu Yogyakarta ke keraton, lalu terus ke Panggung Krapyak, bangunan mirip benteng yang dulu dipakai para raja Keraton Yogyakarta untuk mengintai binatang buruan.
Sumbu filosofi yang dirancang Sultan Hamengku Buwono (HB) I, pendiri Keraton Yogyakarta, itu melambangkan perjalanan manusia sejak lahir hingga meninggal atau kembali kepada Tuhan.