Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pulau Moyo, Ironi di Surga Dunia

Kompas.com - 28/04/2016, 08:22 WIB

HARI menjelang sore ketika tukang ojek memboncengkan kami menuju Air Terjun Mata Jitu di Pulau Moyo, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Jumat (15/4/2016). Deru mesin motor empat tak memecah keheningan pulau yang pernah didatangi Putri Diana dan Maria Sharapova itu.

Suhaidi, pengemudi ojek itu, memacu kendaraan motornya dengan kecepatan sedang saat melintas di jalan utama Desa Labuhan Aji, Kecamatan Badas, di Pulau Moyo. Jalan selebar sekitar 1 meter itu baru sebagian yang berpaving. Sebagian besar lainnya berupa tanah.

Setelah melewati jalan perkampungan, roda sepeda motor mulai menyusuri jalan menanjak di tengah perkebunan mede dan kawasan hutan. Sebagian jalan dihaluskan dengan semen. Namun, lebarnya hanya cukup untuk roda sepeda motor.

Banyak titik jalan yang rusak, seperti kondisi semen terkelupas dan meninggalkan bongkahan batu mirip karang berwarna putih. Sebagian lagi kondisinya tanah dan bebatuan terjal.

Beberapa kali motor Suzuki Shogun Suhaidi menghantam batu. Beruntung kami tak sampai jatuh. Pengalamannya yang kerap mengantar tamu menuju Air Terjun Mata Jitu membuat lelaki jebolan SMP itu hafal letak lubang dan bongkahan batu.

Glodak..., lagi-lagi sasis atau kerangka motor Suhaidi membentur batu di jalan terjal mendaki. Kali ini dia beralasan jalan itu baru rusak. Sepekan sebelumnya, saat mengantar tamu, jalan di lokasi itu masih bisa dilalui meski harus berhati-hati.

Air Terjun Mata Jitu hanya berjarak 7 kilometer dari Desa Labuhan Aji. Namun, kondisi jalan yang terjal berbatu dan berlapis tanah membuat perjalanan sulit, dan hanya bisa menggunakan sepeda motor.

”Kalau musim hujan, kerusakan bertambah parah. Jalan makin sulit dilalui sepeda motor. Dalam kondisi seperti itu, saya tidak berani mengantar tamu menuju air terjun. Risikonya terlalu tinggi,” ujar Suhaidi.

Membahayakan

Kerusakan akses menuju air terjun membahayakan penumpang dan berisiko merusak kendaraan. Seperti yang dialami Rudy, wisatawan dari Batam. Ojek motor yang ditumpanginya berhenti di tengah jalan karena rangka penyangga jok motornya patah setelah menerjang bongkahan batu.

Zaki, pemuda Desa Labuhan Aji yang baru pertama ngojek, mengalami kisah sedih. Ban motornya pecah saat mengantar tamu menuju air terjun. Roda belakangnya selip, lalu membentur bongkahan batu sebesar helm teropong hingga sobek.

Wisatawan dari Malaysia, Khushairi Muhammad, menyayangkan kondisi jalan menuju destinasi wisata kelas dunia yang memprihatinkan. Pesona air terjun bersusun yang berhias stalaktit dan stalagmit itu tiada duanya di dunia.

”Air terjun di tengah hutan belantara itu sangat jernih dan berbuih putih. Air itu menjadi berwarna hijau bening sehingga dasar sungai yang berupa batuan putih menjadi terlihat. Seharusnya perbaikan jalan menuju ke sana menjadi prioritas,” katanya.

Ia menyayangkan kondisi Pulau Moyo dibiarkan begitu saja. Perbaikan infrastruktur dan pembenahan penunjang pariwisata mutlak dilakukan, dengan tetap menjaga keaslian potensi wisata di pulau itu.

Tak hanya Khushairi yang tersihir di Mata Jitu. Kepala Desa Labuhan Aji Suhardi mengatakan, sebanyak 200 hingga 250 wisatawan datang ke Pulau Moyo setiap bulan. Mereka bukan turis lokal, melainkan wisatawan mancanegara, sebagian besar berasal dari Eropa.

Wisatawan yang datang ke Moyo pasti mengunjungi air terjun. Selain itu, mereka berwisata bahari, seperti berenang, snorkeling, dan menyelam di taman wisata alam laut seluas 6.000 hektar yang terbentang di Laut Flores. Pulau seluas 32.044 hektar ini memiliki panjang garis pantai 88 kilometer.

Sebuah resor bertaraf internasional bahkan mematok tarif puluhan juta kepada wisatawan yang ke Moyo. Peminatnya tak pernah sepi, bahkan mencapai puncak kunjungan di bulan Agustus. Pengelola menawarkan wisata bahari, wisata pantai, dan wisata petualangan di kawasan hutan serta air terjun.

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA Jalan menanjak terjal menuju lokasi Air Terjun Mata Jitu di Desa Pulau Aji, Kecamatan Labuan Badas, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Jumat (15/4/2016). Untuk menuju lokasi tersebut, wisatawan umumnya menggunakan ojek.

Terbatasnya infrastruktur di Moyo membuat pengelola resor membangun dermaga sendiri. Bahkan, penduduk lokal yang bekerja di resor itu harus diangkut dengan kapal lewat laut atau menerobos jalan tanah yang rusak sejauh 10 kilometer melintasi hutan dan perkebunan.

Okupasi lahan

Selain masalah infrastruktur, destinasi pendulang devisa negara itu juga dikepung masalah okupasi lahan oleh investor. Sahabudin, warga yang juga makelar tanah, mengatakan, hampir seluruh tanah di tepi pantai telah berpindah tangan ke investor. Tanah itu kini telah dipatok bahkan dipagar rapat.

”Kendati telah dibeli, investor tak kunjung membangun bisnis di Pulau Moyo. Alhasil, harapan warga akan terciptanya lapangan pekerjaan baru tinggal mimpi,” ujar Sarafudin, warga lain, sambil menunjukkan sejumlah bidang tanah di dekat pantai di Moyo yang sudah dimiliki investor.

Buruknya infrastruktur di Moyo menjadi ironi di tengah gencarnya promosi destinasi wisata kelas dunia. Sedihnya, kondisi di Moyo hanya potret kecil dari tantangan pengembangan industri pariwisata di Tanah Air. Salah satunya di Kabupaten Sumbawa Barat, tetangga Kabupaten Sumbawa.

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA Jalan bergelombang menuju lokasi air terjun Mata Jitu di Desa Pulau Aji, Kecamatan Labuan Badas, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Jumat (15/4/2016). Untuk menuju lokasi wisata, wisatawan umumnya menggunakan ojek.
Bupati Sumbawa Barat Musyafirin mengatakan, daerahnya memiliki banyak potensi, terutama pariwisata pantai. Pantai Kertasari menawarkan lokasi berselancar kelas dunia. Sementara Desa Wisata Mantar menawarkan kepada wisatawan untuk menikmati panorama alam melalui kegiatan paralayang.

Selain itu, Sumbawa Barat memiliki delapan gili atau pulau kecil yang berpotensi dikembangkan sebagai destinasi wisata bahari. Pengelolaan gili-gili itu sudah dikerjasamakan dengan investor dari Swedia.

Wisatawan mancanegara itu datang menggunakan kapal pesiar yang berlabuh di tengah laut karena ketiadaan dermaga. Mereka singgah untuk berselancar dan menyelam menikmati panorama bawah laut, setelah itu berlayar kembali tanpa mendarat di Sumbawa Barat.

Wisatawan enggan mendarat ke Sumbawa Barat karena tidak ada akses. Kabupaten di ujung barat Pulau Sumbawa ini butuh pelabuhan di Desa Lalar, Kecamatan Taliwang, untuk pariwisata. Saat ini mereka hanya memiliki pelabuhan besar di Kecamatan Poto Tano.

Namun, jika melalui pelabuhan itu, wisatawan harus menempuh perjalanan darat berjam-jam untuk sampai ke lokasi. ”Orang yang mau berwisata sudah malas duluan kalau tak ada akses transportasi menuju obyek wisata,” ucap Musyafirin. (Runik Sri Astuti dan Yovita Arika)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com