MANOKWARI, KOMPAS.com — Sebanyak 167 pesepeda mengikuti Tour de Teluk Cendrawasih (TdTC) dari Kota Manokwari menuju Teluk Bintuni sejauh 272 kilometer (km). Etape pertama menempuh jarak 113 km dari Kota Manokwari ke Ransiki, Kabupaten Manokwari Selatan.
Etape ini menjadi awal bersepeda di Papua Barat yang sangat menantang. Jangan harap tidak bertemu tanjakan menuju Ransiki.
Pukul 06.00 WIT, Kamis (5/5/2016), pesepeda sudah berkumpul di halaman Markas Polda Papua Barat untuk memulai perjalanan. Cuaca pagi itu tidak terlalu cerah karena hujan turun sejak subuh. Untungnya, hujan tidak deras dan perlahan berhenti saat kami telah berkumpul untuk memulai perjalanan.
Ratusan pesepeda terlihat sangat antusias untuk gowes. Terlebih lagi, para peserta dari luar Papua memang belum pernah menginjakkan kaki di bumi Cenderawasih.
Suasana berada di Papua makin terasa ketika kedatangan kami disambut oleh tarian khas Papua. Beberapa peserta sudah asyik berfoto-foto dengan para penari di halaman Mapolda Papua Barat.
Sampai akhirnya, pukul 06.50 WIT, Gubernur Papua Barat Abraham Octavianus Atururi bersama Kapolda Papua Barat Brigjen (Pol) Royke Lumowa melepas peserta Tour de Teluk Cenderawasih di titik start Mapolda Papua Barat. Royke kemudian menyusul untuk ikut gowes.
Pesepeda jalan beriringan dengan barisan cukup panjang. Namun, lama-kelamaan ada yang tercecer dari rombongan setelah bertemu tanjakan.
Hanya beberapa menit setelah gowes, kami sudah menjajal jalur menanjak. Memang tak sulit mencari tanjakan di Kota Manokwari. Anggaplah ini pemanasan sebelum bertemu tanjakan yang lebih dahsyat.
Jalanan menanjak dan berkelok beralaskan aspal mulus. Kalau sudah begini, rombongan pesepeda otomatis akan terbagi di barisan depan, tengah, dan belakang.
Tanjakan ini membuat beberapa peserta turun untuk mendorong sepedanya. Peluh bercucuran dan terdengar suara napas yang terengah. Namun, ada "bayaran" ketika sampai di puncak tanjakan kaki Gunung Acemo, yaitu pemandangan pantai di sisi kiri. Pesepeda mengambil kesempatan berfoto-foto sekaligus untuk beristirahat sejenak.
Hati-hati longsor
Setelah menanjak, ada turunan yang menjadi bonus. Birunya air laut masih menjadi pemandangan selama gowes. Jalan menurun cukup untuk mengistirahatkan dengkul setelah mengayuh di tanjakan. Namun, kami harus berhati-hati karena jalur menurun di kaki Gunung Acemo cukup panjang dan terjal.
Tak lama kemudian, kami melintasi jalur yang rawan longsor. Saat saya melintas, sudah ada seorang marshal yang memberi peringatan agar mengambil jalur lebih kiri. Saya tengok ke perbukitan di kanan jalan dan melihat kerikil kecil terus berjatuhan dari atas. Kalau hujan deras bisa jadi longsor besar. Kejadian ini membuat beberapa pesepeda berhenti untuk memotret maupun merekam.
Saya pun melipir untuk mengabadikan kondisi jalan yang sedang diperbaiki dan pesepeda lain yang melintas. Namun, tak berapa lama, setumpukan tanah berkerikil berjatuhan dari atas. Terjadi longsor kecil saat pesepeda lewat.
"Pas banget aku lagi lewat, ada yang teriak 'awas'. Kaget! Ternyata di kanan ada longsor. Langsung gowes sekencang-kencangnya," kata Dewi, salah satu peserta.
Beruntung saat itu cuaca cerah dan tidak terjadi longsor besar. Selepas itu, jalur kembali aspal mulus dan semakin dekat dengan pesisir pantai. Jalan mulai landai, tetapi masih ada beberapa tanjakan hingga makan siang.
Rombongan Tour de Teluk Cendrawasih berhenti makan siang di pinggir pantai setelah menempuh 64 km. Waktu makan siang ini dimanfaatkan beberapa peserta untuk shalat, meluruskan kaki, hingga tidur.Di tempat makan siang ini mulai ada perkampungan penduduk.
Istirahat makan siang ini rupanya sekaligus untuk mengisi tenaga agar sanggup menjajal tanjakan demi tanjakan berikutnya sampai di finis. Sekitar pukul 13.30 WIT, saat matahari sedang terik-teriknya, kami harus berhadapan dengan tanjakan curam di kaki pegunungan kapur.
Setelah itu, dilanjut dengan tanjakan di kaki Gunung Bembab kurang lebih sepanjang 4 km. Dari kejauhan, tanjakan itu sudah terlihat menyeramkan bagi pesepeda.
"Gila ini tanjakan! Seng ada lawan!" teriak Zia, pesepeda dari Jakarta.
Ada yang lancar mengayuh sampai ke atas, ada yang berhenti di tengah tanjakan karena sudah tidak kuat, ada yang berhenti dan lanjut menuntun sepeda. Kemacetan pun terjadi di jalur menanjak.
Setelah jalur mulai landai kembali, pesepeda berhenti di SD Inpres Oransbari untuk menyaksikan pemberian sepasang sepatu kepada sejumlah siswa/siswi SD. Senyum ramah anak-anak dan masyarakat di Papua Barat menjadi pengusir lelah saat itu.
Menengok ke belakang, terdapat bentangan laut biru yang menawan. Selepas tanjakan, dilanjut dengan turunan yang cukup panjang. Sepeda melaju cepat dan kaki tak perlu mengayuh. Embusan angin sangat nikmat saat itu.
Menjelang sore, pesepeda kembali berkumpul untuk memasuki lapangan di Ransiki bersama-sama. Jalur datar hingga tiba di Ransiki sekitar pukul 17.00 WIT. Masyarakat dan anak-anak sekolah menyambut kami di lapangan. Ini adalah kali pertama datang ratusan pesepeda ke Ransiki.
Etape pertama berakhir di Polsek Ransiki yang lokasinya tak jauh dari lapangan. Tidak ada hotel, tidak ada rumah mewah, di Polsek Ransiki, kami tidur di atas velbed. Kebersamaan menjadi kemewahan yang sesungguhnya dalam perjalanan bersepeda di Papua Barat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.