Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Serunya Menjelajahi Sisa-sisa Budaya Portugis di Pesisir Jakarta

Kompas.com - 11/05/2016, 19:14 WIB
Muhammad Irzal A

Penulis

Semula tak ada yang tahu pasti asal usul sungai tersebut, sampai rombongan bertemu dengan salah seorang tokoh masyarakat bernama Andre Michels sebelum marganya diganti VOC menjadi Van Mardijkers.

Andre mengatakan sungai tersebut dahulu dibangun abad kelima oleh raja Purnawarman dan diberi nama Sungai Chandrabaga Gomati. “Dahulu lebarnya 20 meter dengan dalam 5 meter, sayang sekarang sudah dangkal dan tak terurus,” ujar Van Mardijkers.

Ketika wisatawan berkeliling kompleks Protestan Tugu di sini akan terlihat lekuk-lekuk wajah masyarakat khas Portugis. Menurut Andre, tanah kompleks tersebut merupakan pemberian saudagar tanah Belanda Cornelis Chastelein, seluas empat hektar.

Tak lama wisatawan singgah di salah satu kediaman tokoh masyarakat bernama Erni Lissie Michiels. Di rumahnya tersebut akan dimulai tradisi adat Kampung Tugu, semacam misa bagi umat Protestan, namun bercampur adat leluhur.

Selain itu, ibu berusia 76 tahun ini menjelaskan tradisi lain yang masih dipegang masyarakat Kampung Tugu keturunan Portugis. Yaitu ada "rabo-rabo", semacam silaturahmi ke rumah-rumah warga saat Natal.

Setiap rumah yang didatangi wajib melantunkan tiga lagu untuk tamu yang datang. Selain itu ada "mandi-mandi", tradisi mengoleskan bedak ke pipi warga lain dengan artian meminta maaf dan saling membersihkan diri.

Beranjaklah sekitar 400 meter dari rumah Erni, di Gang Bineka nomor 28, sebuah rumah dengan gazebo kayu, tempat yang paling tersohor bagi penikmat musik Keroncong Cafrinho Tugu. Keroncong Cafrinho Tugu sendiri merupakan seni musik akulturasi dari budaya Portugis, Melayu, Arab dan Betawi.

Tak lama wisatawan datang, berdirilah tujuh orang personel memegang biola, bass, gitar, dan ukulele. Mereka memainkan lagu Keroncong Tugu berjudul bater a porta (ketuk pintu), sebagai lagu pembukaan.

Selain musik, yang tak kalah menarik juga di sini wisatawan akan disuguhkan camilan khas Kampung Tugu. Yaitu ketan unti, pisang udang dan apem kinca. Ketiganya merupakan camilan warisan nenek moyang mereka, dan mempunyai waktu tersendiri untuk menikmatinya.

Lelah menari-nari ala folk keroncong cafrinho, pemandu mengajak wisatawan beranjak ke suatu rumah tertua di Kampung Tugu. Ternyata sang pemilik ialah Andre Van Mardijkers. Menurut Andre, rumah tersebut berusia lebih dari 250 tahun.

Dengan masih mempertahankan atap, tiang-tiangnya, bangunan tersebut seperti ditelan bumi secara perlahan. Dari pengamatan KompasTravel, tinggi tanah diluar rumah lebih tinggi sekitar 50 centimeter dari permukaan lantai dalam rumah.

KOMPAS.com/Muhammad Irzal Adiakurnia Walaupun banyak tersebar di benua Asia egg tart khas Portugis yang asli memiliki beberapa ciri tersendiri.
Keluarga besar Van Mardijkers pun menyambut wisatawan dengan permainan keroncong yang hampir sama dengan bahasa Portugis, tapi ada beberapa lagu yang diadopsi dari keroncong masa kini, seperti lagu gambang Semarang.

Di sinilah salah seorang keluarganya masih sangat fasih berbahasa Portugis. Frederico dan Debora, wisatawan asing asal Portugis dan Brazil itu pun berinteraksi dengan asyiknya.
Di sini, para wisatawan dijelaskan silsilah keluarga Van Mardijkers mulai nenek moyangnya yang mendiami rumah tersebut sejak zaman penjajahan.

Lelah bercerita, santap siang khas Kampung Tugu pun sudah tersedia, di antaranya ada pindang serani, gado-gado tugu, hingga kue khas egg tart.

Penasaran dengan resep dan cara memasaknya? Rosalia, istri Andre Van Mardijkers pun dengan ramah memperagakan demo memasak hidangan khas tersebut di depan wisatawan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com