Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Serunya Menjelajahi Sisa-sisa Budaya Portugis di Pesisir Jakarta

Kompas.com - 11/05/2016, 19:14 WIB
Muhammad Irzal A

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Ratusan tahun lalu, berbagai bangsa berebut kekuasaan di tanah nusantara yang kaya akan alamnya. Mereka saling berperang dan menempati wilayah kekuasaannya seperti Belanda, Jepang, juga Portugis.

Menapaki sisa-sisa kebudayaan mereka di Indonesia tampaknya bisa menjadi alternatif berlibur yang menarik. Salah satu tempatnya berada di pesisir Ibu Kota, yaitu Kampung Tugu, Jakarta Utara yang dahulu menjadi tempat tinggal bangsa Portugis.

Puluhan truk tronton terparkir rapi di setiap sudut kampung, adapun yang sibuk lalu-lalang mengantarkan peti. Kampung Tugu yang menyimpan sejarah seolah dikepung puluhan terminal truk peti kemas.

Terik matahari khas pesisir pun tak menyurutkan puluhan wisatawan untuk menapaki jejak bersejarah di sini. Mereka sedang mengikuti perjalanan wisata bertajuk “Charity Walking Tour” dari Jakarta Food Adventure, Minggu (8/4/2016).

Tempat pertama yang kami singgahi ialah Gereja Tugu. Gereja yang telah diresmikan menjadi salah satu cagar budaya di Jakarta Utara tersebut merupakan simbol kemerdekaan bangsa Portugis mulai tahun 1735.

KOMPAS.com/Muhammad Irzal Adiakurnia Arsitektur khas eropa dengan bangunan tinggi beserta jendela dan pintu utamanya masih terjaga di Gereja Tugu.

Kedatangan wisatawan disambut arsitektur khas Eropa dengan bangunan tinggi beserta jendela dan pintu utamanya. Tampak berdiri di tengah seorang pria bernama Frenky Abrahams, pria keturunan Portugis yang merupakan pengurus Majelis Jemaat Gereja Tugu. Ia pun menceritakan awal mula kedatangan nenek moyangnya ke Indonesia, hingga keturunannya sampai saat ini.

“Dahulu nenek moyang kami merupakan tawanan VOC yang dibawa dari Malaka, setelah Portugis kalah dengan Belanda di Malaka 1648,” ujar Frenky kepada wisatawan.

Ia mengatakan sebelum bangsa Portugis tiba di daerah Tugu, mereka ditempatkan dahulu di Roa Malaka (dekat Stasiun Kota) saat 1661. Disana lah sekitar 80 persennya mati karena serangan penyakit malaria dan kelaparan karena kawasan tersebut masih hutan belantara.

“Sisanya, yang bisa bertahan lah yang dimerdekakan ke kawasan Tugu, tapi dengan syarat memeluk agama Kristen Protestan,” ujarnya. Ia pun mengatakan Belanda benar-benar ingin menghilangkan unsur Portugisnya, dari mulai bahasa, budaya, hingga agama.

Bersamaan dengan dimerdekakannya warga Portugis tersebut menjadi kaum mardijker (kaum yang merdeka), dibuat pula sebuah gereja Protestan, yang saat ini menjadi Gereja Tugu.

Frenky menunjukkan masih ada benda yang merupakan peninggalan Portugis langsung dari Roma, yaitu alat untuk membaptis anak. Selain itu arsitektur yang masih terjaga ialah dari jendela dan mimbarnya.

Beranjaklah dari sana ke samping gereja tersebut, terdapat makam-makam keturunan bangsa Portugis abad 20 dan 21, mereka menggunakan nama Portugis, seperti Seymons, Nicholas, Abrahams, Bernes, Michiels, dan Burkens.

KOMPAS.com/Muhammad Irzal Adiakurnia Rumah tua berumur lebih dari 200 tahun sisa-sisa peninggalan nenek moyang Kampung Tugu dengan ornamen betawi bercampur Portugis.
Nama-nama tersebut sudah tidak lagi asli marga Portugis, karena kebijakan VOC pada masanya, nama Portugis dicampur dengan marga Protestan dari Belanda. “Orang keturunan Portugis di sini tahun 1959 banyak yang ke Belanda. Sisa sedikit sekitar 300 kepala, itu juga sudah berakulturasi dengan berbagai macam suku di Indonesia,” ujar Frenky.

Sayangnya makam leluhur mereka di sebelum abad 20 sudah tertumpuk oleh makam keturunannya saat ini. Dengan hanya sebidang tanah yang diberi VOC, mereka ingin tetap dimakamkan dekat Gereja, sesuai ajaran Portugis.

Wisatawan pun dipandu mengitari ke sekeliling Gereja oleh tim Jakarta Food Adventure. Terdapat sungai dengan lebar 3-5 meter, konon sungai itulah yang sejak satusan tahun lalu menjadi jalur transportasi warga.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com