Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Russella Narpan M Apoi, Menari dengan Hati...

Kompas.com - 17/05/2016, 08:12 WIB

”Menari itu jiwa, menari itu hati. Maka, menarilah dengan jiwa dan hati yang paling dalam,” kata Russella Narpan M Apoi (68), maestro tari Dayak dari Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah.

Ucapan itu disampaikan Russella di sela-sela peringatan Hari Tari Sedunia di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, akhir April lalu. Ucapan itu juga dibuktikan dalam tariannya yang menghanyutkan.

Lihat saja bagaimana perempuan itu menari. Badan Russella memang mulai membungkuk, kulitnya keriput, matanya kian menyipit. Namun, ketika tampil menari di atas panggung, tubuh rapuh itu sontak memperlihatkan energi. Dengan satu entakan tangan, ia melempar mandau—senjata tradisional Dayak—dan menangkapnya lagi di ujung ragam tarian.

Selama setengah jam Russella menari. Gerakannya mungkin lambat, tetapi matanya menatap tajam. Semangatnya menyala dan memendar ke sekeliling. Penari di sekitarnya pun tergugah untuk menari lebih semangat berdampingan dengan sang maestro tarian Dayak itu.

Tepukan tangan penonton riuh di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman, tempat perayaan Hari Tari Sedunia di Palangkaraya berlangsung. Sudut-sudut jalan dipenuhi orang yang berdiri dan berdesakan ingin melihat Russella menari lagi dan lagi.

”Seluruh hidup saya untuk tari, ini bukan pekerjaan dan bukan hobi. Lebih dari itu, ini tanggung jawab sebagai seorang perempuan Dayak,” katanya sebelum tampil.

Russella adalah salah satu legenda penari suku Dayak di Kalteng yang masih hidup dan masih menari sampai kini. Ia telah menarikan beragam tarian khas suku itu.

Siang itu, dia kembali mengenang saat pertama kali tampil menari di depan orang banyak. Tahun 1957, Russella menari menyambut kedatangan presiden pertama RI Soekarno pada acara pengukuhan Kalimantan Tengah sebagai provinsi. Saat itu usianya baru delapan tahun.

Pada 1975, Russella dipanggil ke Jakarta untuk menari dan meramaikan acara peresmian Taman Mini Indonesia Indah (TMII) oleh Ibu Tien Soeharto. Ia dan beberapa muridnya ikut dalam acara tersebut.

Sanggar tari

Sejak saat itu, ia memegang banyak peran di Sanggar Tari Tingang Menteng Pahunjung Tarung yang didirikan suaminya, Narpan Apoi, pada 9 November 1947. Diperkirakan, sanggar itu adalah yang tertua dan yang pertama ada di Kalteng.

Ia menjadi pelatih dan koreografer di sanggar yang berbasis di Kabupaten Kapuas, sekaligus penarinya. Bersama sanggar itu, Russella, suami, dan anak didiknya mengikuti berbagai pentas tari, baik nasional maupun internasional.

Pada 1986, suaminya meninggal. Sanggar dan Russella seperti kehilangan pemimpin. Beberapa kali ia mencoba membangun kembali sanggar dengan nama yang berbeda, tetapi tetap saja kesulitan.

”Selama beberapa tahun sanggar itu vakum, lalu bisa bangkit lagi pada 2002 berkat anak saya, Erliyansyah,” ujar Russella tentang anak keenamnya yang bernama lengkap Erliyansyah Narpan M Apoi (38). Nama sanggar kembali ke nama semula, yakni Tingang Menteng Pahunjung Tarung.

Di bawah pimpinan Erliyansyah, sanggar itu kembali menemukan performanya. Salah satu yang paling dikenang adalah saat sanggar itu mengikuti pergelaran internasional Yogya Street Performance pada 2015.

Beberapa jenis tari andalan sanggar itu kerap kali menjuarai beberapa festival, seperti tari pedalaman dan tari pesisir. Sebagian besar ragam tari dari sanggar ini merupakan hasil kreasi koreografer Russella dan anaknya, Erliyansyah, tanpa meninggalkan ragam dasar tari Dayak.

Di tangan Erliyansyah, sanggar tersebut lebih banyak fokus melatih tari anak usia PAUD, TK, dan SD. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan anak-anak umur 17-20 tahun bergabung. Anggota sanggar itu kini mencapai 250 orang.

”Kebanyakan anak belia, mereka generasi penerus. Di tangan mereka, tari Dayak bisa bertahan,” ungkap Erliyansyah saat ditemui di Palangkaraya, awal Mei lalu.

Memelihara tradisi

Sanggar Tingang Menteng akan terus dipertahankan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Semua anggota di dalamnya sangat mencintai sanggar karena terinspirasi oleh kegigihan dan komitmen sang pelopor, Russella. Namun, komitmen itu tak mudah karena tantangan bermunculan seiring perubahan zaman.

Menurut Erliyansyah, dengan perkembangan zaman dan teknologi, tarian Dayak mulai disatukan dengan berbagai jenis tarian modern. Hal itu merupakan risiko dan tantangan yang harus dihadapi.

”Keaslian yang terpenting. Ibu saya mengajarkan, bagaimanapun banyaknya muncul tarian baru, keaslian (tari Dayak) tetap dijaga,” ujar Erliyansyah.

Keaslian yang dimaksud bukan sekadar soal raga, melainkan juga cara berpakaian, mimik wajah, perlengkapan tari, dan yang paling penting musik. Zaman ini banyak anak muda Dayak yang dengan berani memadukan musik modern dengan gaya etnik.

Russella dan Erliyansyah sepakat hal itu tak bisa dihindari seiring perkembangan teknologi. Namun, penggunaan sejumlah alat musik seperti katambung (gendang khas Dayak berukuran panjang), kecapi, karungut tidak boleh hilang.

”Kalau hilang, meskipun mereka menari dengan gagahnya dan cantiknya, itu bukan lagi tarian Dayak,” ungkap Erliyansyah.

Erliyansyah berharap, dengan berdirinya sanggar, banyak anak muda bisa meneruskan jejak penari-penari legenda seperti ibunya. ”Semoga masih ada Russella-Russella yang lain,” ujarnya.

Meskipun sudah berumur 68 tahun, Russella masih tetap berlatih dan terkadang membantu anaknya memberikan pelajaran tari ke anak didik mereka.

Saat para pemuda Dayak tertatih-tatih mempertahankan kebudayaan sukunya, seluruh tubuh perempuan yang mengeriput itu memperlihatkan daya seni yang terus berdenyut.

Ya, Russella terus menari dengan hati, menari tanpa henti. (Dionisius Reynaldo Triwibowo)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com