Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gombyang Manyung Tiada Tara

Kompas.com - 23/05/2016, 17:05 WIB

SEBAGAI daerah pesisir, sangat wajar jika Indramayu punya kuliner yang khas karena mempunyai sumber laut yang melimpah. Yang belum banyak dikenal orang adalah gombyang manyung, kuliner jelata yang dapat memikat lidah orang-orang kota.

Siang itu, cuaca Indramayu seperti biasa, panas tak terkira. Bahkan, angin yang berembus pun terasa hangat dan mengandung garam. Kami baru menyadari ternyata sedang berada di jalan berdebu yang diapit tambak udang di Desa Tambak, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu. Desa ini relatif baru, berdiri tahun 2008 hasil pemisahan dari Desa Karangsong.

Semula seluruh wilayah ini adalah tambak udang windu yang kemudian, akibat bertambahnya penduduk, mulai beralih fungsi menjadi permukiman. Belum begitu banyak rumah penduduk. Di salah satu sisi jalan terdapat bangunan panjang semipermanen beratap seng dan bertiang kayu.

Begitu didekati, bangunan tersebut lebih pas disebut rumah panggung karena posisinya nangkring di atas air. Dindingnya hanya berupa pagar setinggi dua pertiga meter sehingga angin leluasa bergerak, mengurangi gerah.

Puluhan orang duduk bersila menikmati hidangan makan siang. Inilah Rumah Makan Panorama milik Warto (50) yang terkenal dengan menu gombyang manyung.

KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ Gombyang Manyung.
Menu jelata

Resep masak gombyang manyung sudah dikuasai warga sejak puluhan tahun. Mereka mewarisinya secara turun-temurun, tetapi baru Warto yang kemudian berani membuka Rumah Makan Panorama dengan menu utama gombyang manyung.

”Waktu itu saya meyakini bahwa menu ini akan banyak diminati. Alhamdulillah ternyata terbukti,” kata Warto.

Gombyang manyung berbahan dasar kepala ikan manyung yang begitu melimpah di Indramayu. Ikan manyung ini biasanya hanya diambil dagingnya untuk jambal ikan asin, sementara kepalanya dijual murah atau bahkan dibuang begitu saja.

Oleh para pekerja atau nelayan, kepala-kepala itu lalu diolah menjadi masakan tradisional yang kemudian dikenal dengan gombyang manyung.

Mereka banyak memasak kepala ikan manyung terutama di musim paceklik ketika penghasilan laut menurun. Kepala-kepala manyung yang dipandang remeh itu menyelamatkan banyak warga dari kelaparan. Kepala manyung seolah menjadi penolong ketika daya beli berada di titik nadir.

KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ Proses pemasakan menu Gombyang Manyung milik Warto di Desa Tambak, Kabupaten Indramayu.
Kata gombyang mengacu pada kuah yang melimpah karena ikan ini dimasak seperti sup dengan kuah merendam ikan. ”Yang perlu diperhatikan itu jangan sampai masakan berbau amis atau anyir. Kuncinya ada di angsang,” kata Diding Fahrudin (59), Manajer Rumah Makan Panorama.

Pada kepala ikan terdapat sekumpulan lendir yang menempel pada ingsang. Jika tidak dibersihkan dengan benar, lendir itu akan memengaruhi rasa ikan secara keseluruhan.

Setelah dibelah dua dan dibersihkan, ikan direbus selama dua jam dengan ketentuan airnya diganti dua kali untuk menghilangkan aroma amisnya.

Setelah itu baru dicampur dengan bumbu seperti daun salam, sereh, kunyit, bawang merah, bawang putih, cabai rawit, dan garam. Ikan direbus hingga kulit dan daging terlepas dari tulangnya.

Kepala ikan seukuran kelapa itu disajikan di dalam mangkuk jumbo dengan kuah melimpah hampir tumpah. Dipuncaki irisan tomat dan irisan daun bawang, aroma ikan langsung merangsang selera makan.

KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ Proses pemasakan menu Gombyang Manyung milik Warto di Desa Tambak, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Rasa gurih kaldu ikan dipadu dengan bumbu dan rempah menjanjikan kelezatan khas. Ada sedikit rasa manis. Yang juga menantang ialah saat penikmat gombyang manyung terdorong untuk mengelupas daging-daging yang tersembunyi di antara tulang-tulang tengkorak ikan yang strukturnya demikian rumit itu.

Ada yang mencukilnya menggunakan garpu, ada juga yang memasukkan kelingkingnya. Belum juga berhasil, mereka menyedot dan mengisap tulang-tulang itu. sluurrrp… ah!

Menjaga kesegaran

Sensasi itulah yang memancing orang berbondong-bondong datang ke Panorama. Dalam sehari, Warto menghabiskan 2-3 kuintal kepala ikan manyung. Jumlah itu bertambah ketika libur hari besar seperti Tahun Baru atau Lebaran.

RM Panorama yang berdiri sembilan tahun lalu ini pun terus berkembang dan membesar. Kini rumah makan ini berkapasitas 600 orang dengan jumlah pegawai 47 orang. Pelanggannya bukan hanya orang Indramayu, melainkan juga datang dari sejumlah kota seperti Bandung, Cirebon, dan Jakarta.

Selain sensasi gurih, Warto menjaga kualitas gombyang manyung dengan hanya menggunakan kepala ikan manyung segar. Kebetulan, di Indramayu terdapat Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Karangsong. Di TPI inilah, ia mencari pasokan kepala ikan manyung segar.

KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ Warung Gombyang Manyung milik Warto di Desa Tambak, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Kepala ikan yang dibeli hari itu harus dimasak hari itu juga. ”Kami tidak pernah menyimpannya di kulkas atau pendingin karena dapat mengurangi kenikmatan masakan,” katanya.

Warto telah mengangkat reputasi gombyang manyung. Menu yang semula dianggap hanya sebagai penyambung hidup di musim paceklik kini menjadi buruan orang-orang kota. (MOHAMMAD HILMI FAIQ)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Mei 2016, di halaman 21 dengan judul "Gombyang Manyung Tiada Tara".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com