Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kampung Adat Tarung Bertahan di Era Modern

Kompas.com - 25/05/2016, 15:45 WIB

SEBUAH bukit kecil dengan ketinggian sekitar 100 meter di atas permukaan daratan Kota Waikabubak, ibu kota Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, berdiri kokoh.

Bukit itu diyakini sebagai tempat tinggal pertama leluhur Sumba, Sudi Wonanyoba. Dia menjaga pasangannya yang disebut Tarung. Keyakinan pun menguat, ada leluhur tertinggi, menjaga yang lemah.

Ruas jalan menanjak menuju kampung sepanjang hampir 150 meter itu dicor semen dan batu dengan lebar 3 meter, cukup satu kendaraan roda empat melintas.

Di pintu gerbang menuju ruas jalan itu terdapat pos jaga, tetapi tidak ada penjaganya. Rupanya pos itu dibangun pemerintah daerah setempat untuk tempat pengumpulan uang retribusi masuk kampung adat Tarung.

Minggu (14/2/2016) siang itu, kampung adat itu tampak sepi. Di pinggir kampung itu terdapat lima pohon beringin berusia ratusan tahun dengan ketinggian sekitar 70 meter.

Pohon-pohon itu berdiri kokoh, seakan mengelilingi kampung. Tumbuhan benalu bergelantungan di pohon itu. Beberapa jenis burung berkicau bersautan sambil beterbangan dari dahan yang satu ke dahan lain.

Lolongan gerombolan anjing milik warga di pintu masuk pelataran kampung pada saat tamu berkunjung membuat sebagian besar warga kampung keluar dari rumah panggung masing-masing.

Hari Minggu, warga kampung umumnya berada di rumah. Setelah menjinakkan anjing-anjing itu, warga pun mempersilakan tamu duduk di rumah panggung yang tersusun dari bambu-bambu bulat.

Kampung itu hanya terdiri atas 102 rumah panggung, dihuni sekitar 400 keluarga. Di dalam satu rumah panggung berukuran sekitar 15 meter x 15 meter itu dihuni 3-4 keluarga. Jumlah warga Tarung 1.530 jiwa dengan mata pencarian sebagai petani, perajin tenun ikat, dan pegawai negeri sipil.

KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA Kampung adat Tarung, Waikabubak, Nusa Tenggara Timur.
Rumah-rumah itu dibangun melingkari puncak bukit. Terdapat sebuah pelataran di tengah kampung. Di pelataran itu terdapat 17 kubur batu berbentuk altar (meja) dengan titik pusat pelataran berada di ujung timur, tempat matahari terbit.

Di situ ada mesbah, terbuat dari batu berukuran 2 meter x 3 meter, diapit sebuah pondok ilalang berukuran 2 meter x 2 meter dengan ketinggian 3 meter. Pondok itu tempat berdoa Rato (raja yang juga menjabat imam adat).

Dalam satu bulan, sang Rato berdoa tiga kali di rumah gubuk itu, yakni awal bulan, pertengahan bulan, dan akhir bulan.

Rato berdoa semalam suntuk di rumah itu, meminta perlindungan, pertolongan, dan kesejahteraan bagi warga Tarung khususnya dan Sumba umumnya serta mengucap syukur kepada leluhur pertama Sumba, Sudi Womanyoba, sebagai penjaga tertinggi. Selama berdoa, posisi duduk Rato menghadap ke Kota Waikabubak.

Pelataran berukuran sekitar 15 meter x 30 meter itu juga untuk menggelar ritual adat tahunan, Wula Phodu atau bulan suci, sama dengan tahun baru masyarakat Sumba.

Wula Phodu digelar setiap Oktober atau November, tergantung posisi bulan. Hari dan tanggal kegiatan ditentukan Rato setempat setelah mendapat konfirmasi dari tetua adat lain.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com