Berawal dari kisah tersebut, maka muncul tradisi dari masyarakat sebagai penghormatan kepada Sang Ksatria tersebut, yang masih dipertahankan hingga saat ini.
Kisah tersebut mengalir seperti air ketika dituturkan oleh Jesselyn yang saat ini masih duduk di bangku kelas 3 Sekolah Menengah Atas.
Sebagai generasi muda Tionghoa, Jesselyn pun merasa wajib untuk mempertahankan tradisi ini.
“Sebagai manusia yang berakal budi, kita harus punya (mengetahui) asal usul, dan tentu saja menghargai dari mana asal kita. Budaya ini memiliki arti dan filosofi tersendiri bagi masyarakat Tionghoa, untuk tetap mempertahankan loyalitas dan kesetiaan,” tutur Jesselyn kepada KompasTravel.
Tradisi mandi di siang hari dipercaya bisa membuang sial dan mengusir berbagai macam penyakit bagi mereka yang percaya pada mitos tersebut.
Sedangkan tradisi makan Bakcang sendiri saat ini lebih memiliki makna untuk berkumpul bersama keluarga sambil makan dan bertukar bakcang.
Dua tradisi tersebut sebenarnya memiliki asal-usul yang berbeda. Namun bagi sebagian masyarakat Tionghoa menjalankan keduanya secara bersamaan.
Suguhan atraksi tersebut, bisa dinikmati masyarakat umum menggunakan kapal wisata atau menyewa perahu bermesin. Masyarakat juga bisa ikut larut saling melempar air menggunakan kantung plastik dan media lain yang bisa digunakan.
“Tradisi seperti ini tidak semua daerah di Indonesia melaksanakannya. Tentu ini menjadi daya tarik dan tujuan wisata, khususnya di Pontianak, sehingga pada tahun mendatang bisa di kemas lebih baik lagi dan bisa mendatangkan wisatawan,” ujar Rico.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.